“Pembahasan transisi energi di G20, dipastikan gagal,” ujar Suriadi Darmoko, Finance Campaigner 350 Indonesia, “Pasalnya, Pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk isu transisi energi tidak mencapai Komunike. Rangkaian panjang pertemuan yang hanya menghasilkan chair’s summary dan kesepakatan Bali COMPACT yang pelaksanaan bersifat sukarela. Atas hal tersebut, menurut saya upaya untuk melakukan transisi energi sebagai upaya untuk memenuhi kesepakatan paris, itu gagal. Transisi Energi di G20, Gagal”
Salah satu Isu prioritas pada G20 adalah transisi energi berkelanjutan dengan kelompok kerja dibawahnya energy transition, environment and climate sustainability. Isu tersebut mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris, membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri. Pada isu tersebut telah dilaksanakan sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) yang puncaknya gagal mencapai komunike atau pernyataan komitmen bersama.
Proses panjang dalam kelompok kerja energy transition, environment and climate sustainability hanya melahirkan chair’s summary dan Bali COMPACT yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Jika hal tersebut disepakati pada KTT G20, tidak ada tanggung jawab apapun dari negara-negara G20 menjalankan kesepakatan tersebut.
Padahal, lanjut Suriadi Darmoko, 75 persen permintaan energi dunia berasal dari negara G20. “Artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim,” ujarnya, “Urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20’.
Kesukarelaan negara-negara G20 ini, lanjutnya, hanya menjauhkan kita untuk mencapai tujuan bersama yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. “Negara G7 dan juga G20 tidak ada kemauan politik untuk transisi ke 100 persen energi terbarukan, Justru yang menguat adalah narasi energi bersih yang telah ditunggangi oleh solusi-solusi palsu dari energi fosil” ujarnya.
Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik mendapatkan kritik dari Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). menurutnya , kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”
Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. “Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.”
Saat ini, kebijakan listrik contohnya, rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodir pendirian PLTU baru saat Indonesia hanya 8 tahun menuju puncak emisi tahun 2030. Pembangunan pembangkit energi berbasis fosil ini sangat sentralistik. “Akibat kebijakan energi yang tidak demokratis ini, persiapan transisi berkeadilan tidak terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan dalam cukup besar” ungkapnya.
Sementara kebijakan masih sentralistik dan bergantung penuh pada energi fossil, Bali, sebagai lokasi pertemuan G20, kerentanan Bali terhadap krisis iklim terus meningkat. Trend bencana hidrometeorologi terus meningkat. Menurut I Nyoman Gede Wiryajaya, Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah III, kedepan hujan akan lebih singkat dengan intensitas yang lebih tinggi.”
“Bali, suhu udaranya mengalami trend yang terus meningkat, trend musim hujan yang meningkat, juga kemarau yang akan menjadi lebih panjang ke depan. Sehingga, bencana akan semakin banyak terjadi”, ujarnya.
“Transisi energi yang molor, agenda transisi yang jalan mundur dan justru mewacanakan energi palsu itu sama dengan mereka sedang membiarkan Bali sebagai tempat pertemuan G20, semakin rentan dan semakin terancam krisis iklim.” pungkas Moko.
Perubahan iklim menjadi masalah besar yang sedang dihadapi bumi, karena mengancam kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati. Emisi gas rumah kaca yang terutama bersumber dari aktivitas-aktivitas manusia telah menjadi penyebab peningkatan suhu bumi.
Solusi terhadap perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi serendah-rendahnya. Solusi tersebut mensyaratkan sebuah transisi berkeadilan (just transition). Yakni, sebuah langkah konkrit beralih dari penggunaan energi fosil menuju penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).
Tetapi, dalam waktu yang sama, proses transisi harus berlangsung secara berkeadilan tanpa mengorbankan kehidupan warga yang bekerja atau secara langsung bergantung pada industri-industri sarat karbon. Langkah-langkahnya meliputi, penciptaan lapangan-lapangan pekerjaan baru yang bersahabat dengan alam (green jobs) dan berkelanjutan
Ide transisi berkeadilan berhubungan erat dengan ide keadilan lingkungan hidup Dengan konsep keadilan lingkungan hidup mencakup keadilan iklim (climate justice) dan keadilan energi (energy justice), konsep transisi berkeadilan juga mengalami perluasan makna.
Tidak lagi semata berkaitan dengan pekerja-pekerja industri yang memproduksi dan pekerja-pekerja industri yang mengonsumsi bahan bakar minyak, tetapi juga meliputi masyarakat yang hidup di tengah-tengah area yang tinggi polusi karena keberadaan industri[1]industri berbasis bahan-bahan bakar fosil seperti yang dialami oleh masyarakat-masyarakat marginal.
Transisi berkeadilan menjadi mutlak karena bumi di mana kita hidup saat ini tidak berkesinambungan secara sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Kita hidup dalam sebuah dunia yang mengalami krisis kronis secara organik, yakni krisis global perubahan iklim,
Pemerintah Indonesia kembali menyatakan komitmennya untuk mencapai penurunan emisi dan memitigasi perubahan iklim pada pertemuan yang diselenggarakan Asian Development Bank (ADB) di Jakarta pada 9 Agustus 2022.
Pertemuan tersebut membahas percepatan implementasi Energy Transition Mechanism (ETM), program ADB untuk mempercepat transisi energi terbarukan (EBT) di Indonesia dengan cara menetapkan pensiun dini pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara secara signifikan.
Program itu sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia mencapai target penurunan emisi, memberhentikan PLTU pada 2023, mempercepat penghentian operasional PLTU, dan meningkatkan penggunaan energi bersih.
Sebelumnya, ADB telah menyampaikan keterhubungan erat antara penyelamatan keanekaragaman hayati dengan mitigasi perubahan iklim.
Ingrid van Wees, Wakil Presiden ADB untuk Keuangan dan Manajemen Risiko menyatakan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati sebagai dampak perubahan iklim telah mengakibatkan risiko pada sektor finansial. Dia menyampaikan hal itu pada pertemuan COP15 di Kunming, China pada 15 Oktober 2021.
Karena itu, Ingrid mengajak semua lembaga keuangan untuk terlibat dalam inisiatif menyertakan keanekaragaman hayati di dalam penilaian risiko dan dampak pada portofolio.
ADB sendiri berperan dengan menjadi anggota Kelompok Studi Keanekaragaman Hayati (Jaringan Bank Sentral dan Pengawas Penghijauan Sistem Keuangan) dan pengamat Satgas Keterbukaan Informasi Keuangan Terkait Alam.
Karena itu, agenda penyelamatan keanekaragaman hayati menjadi sangat penting untuk juga menjadi pertimbangan penetapan pensiun dini pada PLTU dalam implementasi ETM.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) melaporkan bahwa 70 persen daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60 persen lautan telah terdampak, dan lebih dari 80 persen lahan basah telah hilang.
Satu juta spesies juga sedang menghadapi kepunahan. Hal tersebut disampaikan pada pertemuan ke-4 CBD untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022.
Dampak PLTU pada keanekaragaman hayati
Indonesia, sebagai negara mega-biodiversitas perlu secepat mungkin beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan karena PLTU batu bara terbukti berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Polutan yang dihasilkan pada pembakaran bahan fosil merupakan faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam, dan perubahan iklim.
Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan terjadinya kepunahan masal pada keanekaragaman hayati secara cepat.
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) telah melakukan kajian mengenai dampak PLTU terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera dan Sulawesi. Kajian mencakup 53 unit PLTU di Pulau Sumatera dan 19 unit PLTU di Sulawesi.
Hasilnya, sebanyak 24 unit PLTU di Sumatera masuk pada kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 23 unit masuk pada kategori sedang, dan 6 unit masuk pada kategori rendah. Di Sulawesi, sebanyak 17 unit PLTU masuk pada kategori ancaman tinggi dan 2 unit masuk pada kategori ancaman sedang.
Sebagai contoh, PLTU yang ditemukan paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati di Sumatera adalah PLTU Sumsel 8 dan di Sulawesi adalah PLTU Sulut 3. Kedua PLTU tersebut memiliki skor masing-masing sebesar -20 sehingga digolongkan sebagai kategori ancaman tinggi.
Nantinya, implementasi pensiun dini ETM baiknya dikenakan pada PLTU yang memiliki skor kategori ancaman tinggi dan baru beroperasi kurang dari dua tahun agar berjalan optimal dengan penetapan pensiun dini PLTU yang juga direncanakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kriteria yang digunakan dalam penilaian dampak tersebut adalah keberadaan spesies kategori rentan, terancam punah, dan sangat terancam punah, spesies dilindungi, endemik, bernilai ekonomi dan berbudaya tinggi. Selain itu, kriteria lainnya adalah keberadaan ekosistem rentan dan dilindungi.
Beberapa spesies terancam punah ditemukan di sekitar area PLTU di Sumatera, antara lain gajah sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera. Sementara itu, beberapa spesies di sekitar area PLTU di Pulau Sulawesi antara lain burung maleo, yaki, dan anoa.
Aktivitas PLTU juga mengancam keberadaan ekosistem rentan seperti mangrove dan terumbu karang.
Penyelamatan keanekaragaman hayati tidak terpisahkan dari upaya pencapaian target penurunan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Karena itu, implementasi ETM, program ADB untuk penerapan pensiun dini pada PLTU batu bara di Indonesia, perlu didukung dan tetap diawasi agar implementasi transisi ke energi terbarukan berjalan secara optimal dan menyelamatkan keanekaragaman hayati dan iklim.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/30/090711965/penyelamatan-keanekaragaman-hayati-terkait-dengan-pensiun-dini-pltu?page=all#page2
Ilham Setiawan Noer, Peneliti Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Sekitar 1000 negosiator dari 150 negara telah berkumpul dan melaksanakan pertemuan ke-4 untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk mempersiapkan teks final kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati global yang baru pasca 2020 pada COP 15 yang rencananya akan dilaksanakan di Montreal, Kanada pada akhir 2022 nanti.
Setelah pertemuan di Nairobi tersebut dikonklusikan, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mempublikasikan draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) yang melaporkan bahwa saat ini keadaan keanekaragaman hayati adalah masalah yang serius. Sejumlah 70% daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60% lautan telah terdampak, dan lebih dari 80% lahan basah telah hilang. Satu juta spesies pun sedang menghadapi kepunahan. Terancamnya keanekaragaman hayati juga tercemin dari tidak terpenuhinya 14 dari 20 target Aichi Biodiversity Target, target-target yang ditetapkan CBD sebelumnya untuk penyelamatan keanekaragaman hayati oleh dunia global selama 2011-2020. Padahal hilangnya keanekaragaman hayati juga saling terhubung dan terkait erat dengan fenomena kerusakan alam yang lain, yaitu perubahan iklim, degradasi lahan, penggurunan, dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan perubahan iklim menjadi salah satu isu yang juga diperbincangkan dalam pertemuan global tersebut. Perubahan iklim perlu disikapi dengan menjaga ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil. Indonesia seharusnya berperan lebih dan menjadi teladan di kancah internasional dalam melakukan mitigasi perubahan iklim tersebut. Hal ini karena keanekaragaman di Indonesia sungguh kaya. Indonesia telah ditetapkan dunia sebagai negara mega-biodiversitas. Dan menurut konstitusi negara, UUD 1945 No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.
Namun di sisi lain, Indonesia di waktu yang sama berstatus sebagai negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia. Indonesia masih sangat bergantung pada pertambangan batubara dan pembangkit energi listrik berbasis batubara yang mengancam keanekaragaman hayati dan memperparah perubahan iklim.
Draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru memaparkan target-target kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati tingkat global yang baru. Indonesia harus segera meninggalkan penggunaan pertambangan batubara apabila ingin berperan dan menjadi teladan di kancah internasional dalam mencapai target-target penyelamatan kenakeragaman hayati tingkat global tersebut. Target-target yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Target 7: Mengurangi emisi dan polusi dari semua sumber ke tingkat yang tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, dan kesehatan manusia dengan mempertimbangkan efek kumulatif.
Pertambangan batubara berkontribusi dalam melepaskan karbon dioksida dan metana. Gas metana tercatat lebih kuat 20 kali lipat dibandingkan CO2 perihal emisi gas rumah kaca. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan berpotensi menimbulkan polusi air, tanah, dan udara sehingga berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, Laporan “Membunuh Sungai” (2020) oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa hasil uji sampel air di sekitar area pertambangan batubara PT Indominco Mandiri menunjukkan rata-rata tingkat keasaman air atau pH sangat asam, tingkat kandungan logam berat besi (Fe) dan Mangan (Mn) jauh di atas ambang baku mutu. Selain itu, masyarakat di sekitar area pertambangan juga mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), TBC, dan gejala kanker nesofaring.
Target 8: Meminimalkan dampak perubahan iklim dan pengasaman laut pada keanekaragaman hayati dan ekosistem melalui mitigasi, adaptasi dan meningkatkan ketahanan ekosistem.
Salah satu contoh ekosistem yang rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah terumbu karang. Misalnya, fenomena coral bleaching di Kalimantan Timur, yang diakibatkan oleh peningkatan suhu. Berdasarkan penelitian analisis geospasial terkait penggunaan lahan pada pertambangan batubara oleh El-Hamid dkk (2019), aktivitas pertambangan akan mengubah faktor iklim seperti temperatur dan curah hujan di sekitar area pertambangan. Peningkatan temperatur tersebut berakibat pada peningkatan evapotranspirasi di sekitar kawasan pertambangan secara signifikan. Hal ini merusak siklus hidrologi di sekitar kawasan pertambangan dan merusak daur materi di sekitar kawasan pertambangan. Penelitian terkait efek deforestisasi dan perubahan iklim terhadap Kalimantan oleh Wolff dkk (2021) memaparkan bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir 1 derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Hal ini berbahaya bagi keberlanjutan terumbu karang yang sangat sensitif dengan kenaikan suhu.
Target 14: Memastikan integrasi penuh keanekaragaman hayati dan berbagai nilainya ke dalam kebijakan, peraturan, perencanaan dan proses pembangunan, di dalam dan di semua tingkat pemerintahan dan di semua sektor, salah satunya pertambangan.
Pertambangan merupakan salah satu sektor industri yang dicantumkan dalam target 14 oleh CBD. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini menjadi perlu diwaspadai karena rentan berkontribusi negatif terhadap keanekaragaman hayati. Penelitian yang mendalami dampak pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Amerika Serikat oleh Giam dkk (2018) menyatakan bahwa tambang batubara berkontribusi terhadap penurunan kekayaan dan kelimpahan biodiversitas. Penurunan kekayaan rata-rata sebesar 32% dan kelimpahan rata-rata sebesar 53% di area tambang batubara dibandingkan dengan area yang tidak ditambang. Kebijakan penerapan mitigation hierarchy pada level avoidance perlu diterapkan pada perusahaan pertambangan batubara sebagai bentuk langkah preventif. Level avoidance merupakan upaya menghindari dampak negatif sejak dini.
Target 18: Pada tahun 2025, hapuskan subsidi dan insentif yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi nasional.
Saat ini, Pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi dan insentif kepada sektor pertambangan batubara. Pemerintah Indonesia menerapkan insentif royalti 0% terhadap perusahaan yang menjalankan hilirisasi batubara. Hilirisasi yang direncanakan pemerintah salah satunya adalah pembuatan Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar substitusi bagi LPG. Padahal berdasarkan kajian tim Perkumpulan AEER, emisi yang dihasilkan proyek pembuatan DME ini 5 kali lebih besar dibandingkan produksi LPG dengan jumlah yang sama. Kebijakan untuk hilirisasi batubara yang menghasilkan DME melalui gasifikasi ini merupakan kebijakan yang tidak tepat karena menghasilkan emisi yang besar dengan perolehan energi yang lebih sedikit. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bahaya bagi keanekaragaman hayati.
Maka dari itu, Indonesia harus menunjukkan komitmen yang lebih ambisius untuk mencapai target-target penyelamatan hayati The Post-2020 Global Biodiversity Framework. Indonesia harus berkomitmen untuk menghentikan upaya perluasan area pertambangan batubara dan mencabut izin pertambangan batubara untuk penyelamatan keanekaragaman hayati dari ancaman kerusakan energi kotor.
Artikel ini di muat oleh Kompas (https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/14/075101265/tinggalkan-batu-bara-demi-mencapai-target-penyelamatan-keanekaragaman?page=all)
Kajian ini bertujuan menganalisis tingkat ancaman pertambangan batubara di Pulau Kalimantan terhadap keanekaragaman hayati berdasarkan teknik skoring. Hasil kajian menunjukkan bahwa dari 35 perusahaan, sebanyak 23 perusahaan pertambangan batubara tergolong kategori ancaman tinggi, 10 kategori ancaman sedang, 2 kategori ancaman rendah. Terdapat sebanyak lima spesies yang berstatus critically endangered, 33 spesies berstatus endangered, dan 69 spesies kategori vulnerable di sekitar area pertambangan batubara. Selain itu, terdapat ekosistem mangrove dengan total luas sebesar 136.430,05 Ha di sekitar area pertambangan batubara. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem penting dalam menunjang kehidupan keanekaragaman hayati. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati di ekosistem mangrove berada dalam ancaman akibat aktivitas pertambangan. Selain itu, jika aktivitas pertambangan tidak dikendalikan, akan terjadi kehilangan potensi serapan karbon sebesar 245.028,37 ton C/tahun. Oleh karena itu, keberadaan pertambangan batubara dapat menghambat Indonesia dalam mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati dan iklim.
Secara keseluruhan, hasil kajian ini dapat menjadi pertimbangan dalam upaya pengurangan produksi batubara dan penghentian perluasan area yang ditambang untuk mendukung pencapaian target penyelamatan keanekaragaman hayati dan iklim
Daya serap karbon mangrove yang terancam hilang lebih banyak dari hasil pengurangan karbon proyek listrik tenaga angin Jeneponto
Siaran pers
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat
Jakarta (28 April 2022) Pulau Kalimantan sumber terbesar batubara batubara di Indonesia, hampir 86% produksi batubara nasional1. Tingginya aktivitas pertambangan di Kalimantan menyebabkan penurunan jasa lingkungan dan mengganggu kehidupan satwa liar. Padahal Kalimantan merupakan pulau kaya sumber keanekaragaman hayati.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)2, ada 35 tambang batubara masing-masing luasnya lebih dari 10.000 ha berada dalam radius 25 km dari kawasan konservasi. Selain itu, setidaknya ada 5 spesies masuk kategori critically endangered di dalam dan di sekitar kawasan pertambangan (radius 25 kilometer). Spesies tersebut adalah Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Hopea rudiformis, Pongo pygmaeus (orangutan kalimantan), Aquilaria malaccensis (gaharu), dan Sphyrna lewini (hiu kepala martil).
Menurut data keanekaragaman hayati GBIF, spesies-spesies dengan tingkat kerentanan critically endangared ditemukan pada 7 perusahaan tambang kajian, yaitu PT Insani Baraperkasa, PT Multi Harapan Utama, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Indobara Semesta, PT Singlurus Pratama Coal, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Persada Berau Jaya Sakti. Sejumlah 33 spesies tingkat kelangkaan endangered; dan 69 spesies kelangkaannya kategori vulnerable, hidupdi dalam dan sekitar kawasan pertambangan. Beberapa spesies tersebut adalah Nasalis larvatus (bekantan) dan Helarctos malayanus (beruang madu). Aktivitas pertambangan PT Kaltim Prima Coal dan PT Indominco Mandiri berkontribusi terhadap penurunan daya dukung habitat orangutan hingga sebesar 60%3.
Jika mengacu pada data tutupan lahan tahun 2019 dari KLHK, aktivitas pertambangan pada 19 perusahaan tambang kajian berpotensi memberikan ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove. Perusahaan tambang tersebut adalah PT Amanah Putra Borneo, PT Arutmin Indonesia, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Coal, PT Berau Indobara Semesta, PT Borneo Indobara, PT Delma Mining Corporation, PT Indominco Mandiri, PT Insani Baraperkasa, PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Lanna Harita Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Perkasa Inakakerta, PT Persada Berau Jaya Sakti, PT Santan Batubara, PT Singlurus Pratama, PT Sumber Daya Energi, dan PT Tambang Damai. Kemampuan serapan karbon ekosistem mangrove sekitar pertambangan dapat mencapai angka 245.028,37 ton karbon per tahun, melebihi kemampuan PLTB Tolo di Jeneponto, Sulawesi Selatan yang hanya mereduksi 160.600 ton karbon. Jika aktivitas tambang batubara di sekitar ekosistem mangrove tetap berlanjut, maka kemampuan daya serap karbon akan mengalami penurunan sebagai akibat dari degradasi ekosistem mangrove yang terjadi.
Aktivitas pertambangan telah mengubah bentang lahan dalam skala besar serta melepaskan polutan yang merusak ekosistem yang menampung ribuan spesies flora dan fauna. Pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan merusak faktor iklim mikro seperti temperatur dan curah hujan4. Pembukaan lahan yang dilakukan menghilangkan berbagai jasa lingkungan dan memberikan pengaruh buruk kepada kualitas kehidupan.
Iqbal Patiroi, Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim Perkumpulan AEER menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan perlu dikurangi dan dihentikan, disertai proses transisi yang berkeadilan bagi seluruh pihak dan lingkungan. Disamping itu, upaya restorasi dan rehabilitasi pada setiap kawasan pertambangan mesti dilaksanakan dan dikawal secara ketat dan serius agar dapat membentuk ekosistem yang berkelanjutan. Dengan demikian, satwa liar dapat hidup dengan aman di alam bebas dan menjalankan peranan ekologisnya sehingga lingkungan kehidupan tetap berada dalam kondisi atau keadaan yang seimbang.
Kontak media:
Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim iqbalpatiroi@aeer.info/