Perkampungan nelayan Desa Kurisa, Kabupatan Morowali Sulawesi Tengah, dengan latar kawasan industri pengolahan nikel
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia dan dan siap untuk meningkatkan produksi secara dramatis untuk memenuhi permintaan yang meroket. Permintaan nikel diasumsikan meningkat enam kali lipat pada tahun 2030, sebagian besar didorong oleh permintaan baterai kendaraan listrik.
Dua proyek besar yang menopang pembangunan nikel tingkat baterai di negara ini, Morowali Industrial Park dan proyek di Pulau Obi, telah mengajukan permintaan izin untuk membuang 31 juta ton limbah tambang ke Segitiga Terumbu Karang dengan keanekaragaman hayati tinggi menggunakan praktik pembuangan tailing bawah laut yang kontroversial dan sudah kadaluwarsa. Pembuangan laut adalah cara murah dan mudah untuk membuang limbah tambang, tetapi karena dampak lingkungan dan kesehatannya, telah dihapuskan atau dilarang di sebagian besar dunia.
Menghadapi penolakan dari masyarakat lokal dan kekhawatiran dari perusahaan kendaraan listrik bahwa dampak penambangan kotor akan merusak peralihan ke energi bersih, pengembang membatalkan permintaan izin untuk membuang tailing tambang ke laut pada Oktober 2020. Dan pada 5 Februari 2021, menyusul pengajuan proposal investasi oleh Tesla, juru bicara untuk pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa mereka tidak lagi mengizinkan proyek pertambangan baru membuang limbah tambang ke laut.
Namun, tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia mengabaikan komitmennya sendiri, meloloskan peraturan yang mengizinkan pembuangan tailing bawah laut. Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap memperbolehkan pembuangan limbah tailing pada kedalaman setidaknya 100 meter jika tidak terdapat lapisan termoklin.
Peraturan ini membuka pintu untuk pembuangan laut dan bertentangan dengan komitmen publik pemerintah, meskipun momentum yang berkembang menentang praktik itu. Kontradiksi pemerintah perlu menjadi perhatian bagi publik, produsen kendaraan listrik, penyokong keuangan, dan komunitas-komunitas pesisir terdampak limbah tambang.
Tanggung jawab perlindungan lingkungan global tidak semata di pemerintahan negara penghasil material. Pengguna hilir dan pendukung keuangan juga berperan memastikan pembuangan laut tidak terjadi, menyoroti risiko reputasi yang terkait dengan praktik tersebut. Produsen mobil Ford, BMW dan Daimler-Benz telah turut dalam Initiative for Responsible Mining Assurance, mengisyaratkan komitmen mereka kepada sumber mineral yang bertanggung jawab dan penolakan atas praktik-praktik berbahaya, termasuk pembuangan limbah ke laut.
Citigrup, Standard Chartered, dan Credit Suisse telah melarang atau sangat membatasi membiayai perusahaan-perusahaan yang melakukan pembuangan limbah ke laut, dan Storebrand, pengelola aset utama Norwegia, melakukan divestasi dari tambang nikel dan kobalt Ramu di Papua Nugini atas kerusakan lingkungan akibat pembuangan tailing di laut.
Pemerintah Indonesia dan perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok nikel batere perlu membatasi semua pembuangan tailing di bawah laut. Pemerintah dan perusahaan yang terlibat dalam rantai pasokan nikel dunia seharusnya tidak mendukung pembuangan limbang tailing bawah laut. Melakukan pembuangan limbang tailing di laut, akan menjadikan baterai EV sebagai bagian dari masalah ekologi global dan berkontribusi pada sumber baru pencemaran pesisir dan laut.
Bertepatan dengan peringatan Hari Bumi pada 22 April 2021, Presiden Amerika Serikat Joe Biden berencana mengundang 40 pemimpin dunia dalam pertemuan virtual tentang perubahan iklim. Pertemuan iklim ini penting mengkonkretkan pelaksanaan menyelamatkan bumi dari pemanasan global dengan target yang telah disepakai dalam Kesepakatan Iklim Paris (Paris Agreement). Pertemuan ini diharapkan menghadirkan Presiden Indonesia Joko Widodo.
Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan AEER menyatakan, “Upaya mitigasi perubahan iklim dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca (Nationally Determined Contribution/NDC) Indonesia dengan usaha sendiri sebesar 29 persen dan jika ada bantuan internasional targetnya mencapai 41 persen akan tercapai dengan dukungan internasional dalam kerjasama internasional dalam pengembangan energi terbarukan. Saat ini sistem energi Indonesia didominasi oleh energi fosil, dan perlu perubahan arah yang drastis dengan tidak ada lagi PLTU yang baru, agar Indonesia mencapai target bauran energi yang sejalan dengan target NDC.”
Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Siti Nurbaya dalam pernyataan target terbaru menyatakan Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dan menuju net zero emission pada tahun 2070.
Berdasarkan kajian Perkumpulan AEER, realisasi pembangkit PLTU Indonesia dalam periode waktu 2015-2019 telah menciptakan tren komposisi PLTU akan melebihi target 30% pada tahun 2025 seperti tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2017. Padahal batubara adalah sumber emisi gas rumah kaca paling intensif. Sementara itu, realisasi pembangungan energi terbarukan membentuk tren di bawah target.
Pius menambahkan, “Untuk mencapai target puncak emisi tahun 2030, perlu upaya lebih ambisius karena dalam empat tahun terakhir ini emisi gas rumah kaca terus bertambah dari pembangkit. Untuk mencapai target ini investasi batubara yang baru tidak diperkenankan lagi, atau menjadi tertutup.”
“Upaya pembukaan lapangan kerja diarahkan pada sektor energi terbarukan dan usaha rendah karbon lainnya,” pungkas Pius.
Provinsi Sumatera Selatan adalah salah satu lokasi sumber batu bara di Indonesia di samping Kalimatan Selatan dan Kalimantan Timur. Namun dibandingkan dengan kedua provinsi di Kalimantan, produksi batu bara Sumatera Selatan masih lebih rendah. Hal ini tentu kondusif untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan, sehingga berkontribusi bagi pengurangan emisi gas rumah kaca daerah, nasional dan global.
Namun, saat ini pengembangan infrastruktur dan pemanfaatan batu bara di Sumatera Selatan (Sumsel) sangat intensif, dalam bentuk peningkatan daya angkut jalan kereta api, pembangunan PLTU mulut. tambang hingga agenda hilirasi lainnya seperti program gasifikasi batu bara. Hal ini tentu mengkhawatirkan bagi tujuan pencapaian pembangunan rendah karbon di Provinsi Sumatera Selatan.
Peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik tak terhindarkan. Namun, produksi kendaraan listrik dari hulu ke hilir tetap harus bersih, memenuhi standar lingkungan, dan menyejahterakan masyarakat sekitar, tanpa terkecuali.
Tanpa itu, ketidakadilan kian mendalam bagi ekologi rakyat lokal yang berkontribusi kecil bagi emisi gas rumah kaca.
Juga penghindaran energi fosil (khususnya batubara) dalam rantai produksi perlu dikedepankan agar Indonesia dan kendaraan nikel batere berkontribusi untuk pencapaian netral emisi nasional dan global.
Problematikan sosial dan ekologi nikel batere dan rekomendasi rekomendasinya dibahas dalam publikasi kajian Perkumpulan AEER tahun 2020, dapat diunduh disini.
Pemerintah sedang membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA), dengan modal awal Rp.75 trilyun rupiah yang diharapkan untuk menarik dana investasi dari luar negeri. Organisasi lingkungan mengharapkan LPI mempunyai kebijakan soal industri fosil. Enegi fosil merupakan penyebab perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.
Para peneliti mengungkapkan di daerah tropis yang selama ini daerah basah karena hujan akan terjadi peningkatan hujan karena dampak dari perubahan iklim.[1]
Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga diprediksi akan terdampak oleh perubahan iklim.[2] Frekuensi dan kekuatan El Nino dan La Nina ekstrem berpotensi meningkat. Hari ini fase ekstrem ENSO terjadi sekali dalam 20 tahun. Namun di akhir abad 21, dalam skenario emisi gas rumah kaca yang agresif, fase ekstrem dapat terjadi sekali dalam 10 tahun. Indonesia, yang berada di ekuator bagian barat Samudra Pasifik akan mengalami curah hujan ekstrem saat La Nina ekstrem.
Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipari Rakyat) menyatakan, bencana hidrometeorologis dari banjir hingga kenaikan permukaan air laut kian meningkat seiring dengan pemanasan global yang diakibatkan oleh penggunaan energi fosil. Biaya besar dan hingga korban jiwa telah terjadi. Menyediakan lapangan pekerjaan dengan membuka pengembangan industri batubara dan perkebunan tidak efektif dan dampak kerusakannya lebih besar, seperti dalam kejadian banjir di Kalimantan Selatan, walau sudah banyak investasi tambang dan perkebunan, terdapat pengangguran 80.000 orang, setengah pengangguran 800.000 orang, dan bekerja paruh waktu 590.000 orang. Karenanya perlu kebijakan investasi dari LPI agar tidak mendukung bisnis yang menunjang pengembangan energi fosil, khususnya batubara.
PLTU sedang melaksanan konstruksi di Sumatera
Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menyatakan, perlu diingat juga, bahwa INA berdiri di atas produk undang-undang kontroversial yang mendapatkan penolakan massif dan luas dari masyarakat, dan kekhawatiran dari investor global atas dasar potensi besar akan konflik kepentingan industri fosil, khususnya batubara, mulai dari proses perumusan hingga produk akhirnya[3]. Penolakan dari masyarakat juga didasarkan pada dampak-dampak negatif sosial lingkungan dan ekonomi dari industri fosil khususnya batubara, yang tidak kunjung terselesaikan dan jelas pertanggungjawabannya.
Kami mengharapkan INA membuat kebijakan tidak mendukung infrastruktur yang mendorong energi fosil, seperti rel kereta api yang mentransportasikan batubara, pelabuhan untuk batubara. Kajian dari Koalisi #BersihkanIndonesia[4] yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN)–yang akan dimodali oleh INA–menemukan bahwa mayoritas proyek PSN (proyek PSN dan program PSN) berpotensi berkaitan dengan energi fosil, padat polusi dan emisi serta lahan, dan berpotensi memarjinalkan masyarakat luas dan melanggar hak asasi manusia.
Dengan memasukkan infrastruktur pendukung energi fosil ke dalam usaha yang dikelola LPI, akan mempersempit jumlah investasi dari lembaga-lembaga telah punya kriteria tidak mendukung investasi energi fosil khususnya batubara.
Investasi LPI hendaknya dilakukan pada sektor sektor yang ramah lingkungan, termasuk pengembangan energi terbarukan karena sistem energi Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Di lain sisi, kepengurusan LPI pun harus menghindari konflik kepentingan industri fosil, khususnya batubara.
Kontak media
Pius Ginting,
Kordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat),
Batubara cukup akrab bagi warga Sumatera Selatan. Suara suara kritis dari perspektif keprihatinan dampak sosial, ekologinya diungkapkan lewat lomba karya tulis ekologi ini. Penulisnya dari SD hingga mahasiswa dan umum.