Siaran pers ini telah terbit di kompas.com,11 November 2022, 17:59 WIB
Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai capaian ASEAN dalam penyelamatan krisis iklim masih kurang.
Peneliti keanekaragaman hayati dan iklim AEER, Ilham Setiawan Noer, pada Kamis (10/11/2022), mengatakan ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan menghambat target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati global.
Padahal ASEAN merupakan kawasan penting perlindungan keanekaragaman hayati global karena mencakup 20 persen spesies flora dan fauna global, 30 persen terumbu karang global, dan 35 persen hutan mangrove global.
Di samping itu, empat negara di Asia Tenggara termasuk di antara 25 hotspot keanekaragaman hayati global, dan tiga negara termasuk di antara 17 negara megabiodiversitas di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Semua negara anggota ASEAN juga terdaftar sebagai pihak yang meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD).
Berdasarkan laporan ASEAN Biodiversity Outlook 2 yang dikeluarkan oleh ASEAN Centre for Biodiversity (ACB), disebutkan bahwa terdapat tiga level pencapaian target, yaitu warna hijau yang berarti target dicapai oleh sebagian besar negara ASEAN, warna kuning berarti setengah negara ASEAN, dan warna merah berarti kurang dari setengah negara ASEAN. Hasilnya, dari 20 target Aichi, hanya satu target yang berwarna hijau, 12 target berwarna kuning, dan 7 target berwarna merah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di regional ASEAN belum maksimal.
Laporan ASEAN Biodiversity dikeluarkan sebagai hasil pemantauan terhadap perkembangan pencapaian penyelamatan keanekaragaman hayati 2011-2020 (Aichi Biodiversity Target).
Selain itu, laporan “The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040” yang diterbitkan oleh ASEAN Centre for Energy (ACE) menyatakan bahwa dalam skenario Business as Usual, total pasokan energi primer ASEAN akan terus tumbuh sebesar 40 persen pada 2017-2025 dan sebagian besar didominasi oleh bahan bakar fosil. Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer. Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer.
Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Tujuan komitmen ini adalah mencegah perubahan iklim yang semakin parah yang dapat memperburuk kekeringan, kelaparan, dan konflik di seluruh dunia.
“Bagaimana kaitan antara target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati dengan energi fosil? Tingginya ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan memicu peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga akan menghambat pencapaian batas kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius. Kondisi ini akan memperparah perubahan iklim global,” ujar Ilham.
“Energi fosil khususnya batubara akan mengancam keanekaragaman hayati dalam bentuk degradasi dan deforestasi habitat, fragmentasi habitat, pencemaran udara dan air, dan peningkatan suhu bumi,” tambah dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2022).
Ilham turut menyatakan bahwa energi fosil di Indonesia saat ini didominasi oleh batubara.
Berdasarkan kajian yang dilakukan AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan”, dikatakan bahwa dari 35 perusahaan tambang batubara, sebanyak 23 perusahaan tergolong kategori ancaman tinggi, 10 perusahaan tergolong kategori ancaman sedang, dan 2 perusahaan tergolong kategori ancaman rendah.
Saat ini, Asia Tenggara masih menjadi pasar yang menjanjikan untuk komoditas batubara, di saat negara maju sudah mulai meninggalkan batubara dan mengkampanyekan beralih ke energi terbarukan.
Permintaan impor batubara di Asia Tenggara diprediksi akan meningkat menjadi 250 juta ton pada 2035 dibanding tahun 2020 sebesar 150 juta ton.
Tiga negara yang menjadi konsumen terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Konsumsi batubara di ketiga wilayah ini telah meningkat 150 persen selama 20 tahun terakhir.
Lebih lanjut, Ilham menjelaskan, saat ini negara-negara ASEAN belum mampu mengimplementasikan target dengan baik untuk mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Menurut dia, dari 10 negara ASEAN, sebanyak tiga negara tergolong kategori critically insufficient atau sangat tidak memadai dan sangat kritis, yaitu Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Terdapat satu negara yang tergolong kategori highly insufficient atau sangat tidak memadai, yaitu Indonesia.
Sementara itu, enam negara lainnya belum ada penilaian dari Climate Action Tracker, yaitu Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Menguatkan komitmen
Ilham berpendapat, negara-negara ASEAN perlu menguatkan kembali komitmennya terkait penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati.
Dia menambahkan, laporan The Land Gap Report 2022 yang dikeluarkan oleh landgap.org menyatakan bahwa penanaman pohon, penghijauan, dan reboisasi saja tidak cukup untuk menurunkan emisi gas rumah kaca global.
Saat ini diperlukan kontribusi penurunan emisi dari berbagai sektor, salah satunya sektor energi berbasis bahan bakar fosil.
“Sebagai salah satu negara dengan produksi dan konsumsi energi fosil terbesar di dunia, Indonesia perlu menjadi pionir di Asia Tenggara dalam penghentian ketergantungan terhadap energi fosil dan harus segera beralih ke energi terbarukan,” jelas dia.
Ilham menyebut, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen serius untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celcius dengan cara menurunkan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia menjadi 10 persen pada tahun 2030 dan dihentikan sepenuhnya pada tahun 2040.
Pemerintah Indonesia kembali menyatakan komitmennya untuk mencapai penurunan emisi dan memitigasi perubahan iklim pada pertemuan yang diselenggarakan Asian Development Bank (ADB) di Jakarta pada 9 Agustus 2022.
Pertemuan tersebut membahas percepatan implementasi Energy Transition Mechanism (ETM), program ADB untuk mempercepat transisi energi terbarukan (EBT) di Indonesia dengan cara menetapkan pensiun dini pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara secara signifikan.
Program itu sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia mencapai target penurunan emisi, memberhentikan PLTU pada 2023, mempercepat penghentian operasional PLTU, dan meningkatkan penggunaan energi bersih.
Sebelumnya, ADB telah menyampaikan keterhubungan erat antara penyelamatan keanekaragaman hayati dengan mitigasi perubahan iklim.
Ingrid van Wees, Wakil Presiden ADB untuk Keuangan dan Manajemen Risiko menyatakan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati sebagai dampak perubahan iklim telah mengakibatkan risiko pada sektor finansial. Dia menyampaikan hal itu pada pertemuan COP15 di Kunming, China pada 15 Oktober 2021.
Karena itu, Ingrid mengajak semua lembaga keuangan untuk terlibat dalam inisiatif menyertakan keanekaragaman hayati di dalam penilaian risiko dan dampak pada portofolio.
ADB sendiri berperan dengan menjadi anggota Kelompok Studi Keanekaragaman Hayati (Jaringan Bank Sentral dan Pengawas Penghijauan Sistem Keuangan) dan pengamat Satgas Keterbukaan Informasi Keuangan Terkait Alam.
Karena itu, agenda penyelamatan keanekaragaman hayati menjadi sangat penting untuk juga menjadi pertimbangan penetapan pensiun dini pada PLTU dalam implementasi ETM.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) melaporkan bahwa 70 persen daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60 persen lautan telah terdampak, dan lebih dari 80 persen lahan basah telah hilang.
Satu juta spesies juga sedang menghadapi kepunahan. Hal tersebut disampaikan pada pertemuan ke-4 CBD untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022.
Dampak PLTU pada keanekaragaman hayati
Indonesia, sebagai negara mega-biodiversitas perlu secepat mungkin beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan karena PLTU batu bara terbukti berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Polutan yang dihasilkan pada pembakaran bahan fosil merupakan faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam, dan perubahan iklim.
Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan terjadinya kepunahan masal pada keanekaragaman hayati secara cepat.
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) telah melakukan kajian mengenai dampak PLTU terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera dan Sulawesi. Kajian mencakup 53 unit PLTU di Pulau Sumatera dan 19 unit PLTU di Sulawesi.
Hasilnya, sebanyak 24 unit PLTU di Sumatera masuk pada kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 23 unit masuk pada kategori sedang, dan 6 unit masuk pada kategori rendah. Di Sulawesi, sebanyak 17 unit PLTU masuk pada kategori ancaman tinggi dan 2 unit masuk pada kategori ancaman sedang.
Sebagai contoh, PLTU yang ditemukan paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati di Sumatera adalah PLTU Sumsel 8 dan di Sulawesi adalah PLTU Sulut 3. Kedua PLTU tersebut memiliki skor masing-masing sebesar -20 sehingga digolongkan sebagai kategori ancaman tinggi.
Nantinya, implementasi pensiun dini ETM baiknya dikenakan pada PLTU yang memiliki skor kategori ancaman tinggi dan baru beroperasi kurang dari dua tahun agar berjalan optimal dengan penetapan pensiun dini PLTU yang juga direncanakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kriteria yang digunakan dalam penilaian dampak tersebut adalah keberadaan spesies kategori rentan, terancam punah, dan sangat terancam punah, spesies dilindungi, endemik, bernilai ekonomi dan berbudaya tinggi. Selain itu, kriteria lainnya adalah keberadaan ekosistem rentan dan dilindungi.
Beberapa spesies terancam punah ditemukan di sekitar area PLTU di Sumatera, antara lain gajah sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera. Sementara itu, beberapa spesies di sekitar area PLTU di Pulau Sulawesi antara lain burung maleo, yaki, dan anoa.
Aktivitas PLTU juga mengancam keberadaan ekosistem rentan seperti mangrove dan terumbu karang.
Penyelamatan keanekaragaman hayati tidak terpisahkan dari upaya pencapaian target penurunan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Karena itu, implementasi ETM, program ADB untuk penerapan pensiun dini pada PLTU batu bara di Indonesia, perlu didukung dan tetap diawasi agar implementasi transisi ke energi terbarukan berjalan secara optimal dan menyelamatkan keanekaragaman hayati dan iklim.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/30/090711965/penyelamatan-keanekaragaman-hayati-terkait-dengan-pensiun-dini-pltu?page=all#page2
Ilham Setiawan Noer, Peneliti Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Sekitar 1000 negosiator dari 150 negara telah berkumpul dan melaksanakan pertemuan ke-4 untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk mempersiapkan teks final kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati global yang baru pasca 2020 pada COP 15 yang rencananya akan dilaksanakan di Montreal, Kanada pada akhir 2022 nanti.
Setelah pertemuan di Nairobi tersebut dikonklusikan, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mempublikasikan draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) yang melaporkan bahwa saat ini keadaan keanekaragaman hayati adalah masalah yang serius. Sejumlah 70% daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60% lautan telah terdampak, dan lebih dari 80% lahan basah telah hilang. Satu juta spesies pun sedang menghadapi kepunahan. Terancamnya keanekaragaman hayati juga tercemin dari tidak terpenuhinya 14 dari 20 target Aichi Biodiversity Target, target-target yang ditetapkan CBD sebelumnya untuk penyelamatan keanekaragaman hayati oleh dunia global selama 2011-2020. Padahal hilangnya keanekaragaman hayati juga saling terhubung dan terkait erat dengan fenomena kerusakan alam yang lain, yaitu perubahan iklim, degradasi lahan, penggurunan, dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan perubahan iklim menjadi salah satu isu yang juga diperbincangkan dalam pertemuan global tersebut. Perubahan iklim perlu disikapi dengan menjaga ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil. Indonesia seharusnya berperan lebih dan menjadi teladan di kancah internasional dalam melakukan mitigasi perubahan iklim tersebut. Hal ini karena keanekaragaman di Indonesia sungguh kaya. Indonesia telah ditetapkan dunia sebagai negara mega-biodiversitas. Dan menurut konstitusi negara, UUD 1945 No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.
Namun di sisi lain, Indonesia di waktu yang sama berstatus sebagai negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia. Indonesia masih sangat bergantung pada pertambangan batubara dan pembangkit energi listrik berbasis batubara yang mengancam keanekaragaman hayati dan memperparah perubahan iklim.
Draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru memaparkan target-target kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati tingkat global yang baru. Indonesia harus segera meninggalkan penggunaan pertambangan batubara apabila ingin berperan dan menjadi teladan di kancah internasional dalam mencapai target-target penyelamatan kenakeragaman hayati tingkat global tersebut. Target-target yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Target 7: Mengurangi emisi dan polusi dari semua sumber ke tingkat yang tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, dan kesehatan manusia dengan mempertimbangkan efek kumulatif.
Pertambangan batubara berkontribusi dalam melepaskan karbon dioksida dan metana. Gas metana tercatat lebih kuat 20 kali lipat dibandingkan CO2 perihal emisi gas rumah kaca. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan berpotensi menimbulkan polusi air, tanah, dan udara sehingga berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, Laporan “Membunuh Sungai” (2020) oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa hasil uji sampel air di sekitar area pertambangan batubara PT Indominco Mandiri menunjukkan rata-rata tingkat keasaman air atau pH sangat asam, tingkat kandungan logam berat besi (Fe) dan Mangan (Mn) jauh di atas ambang baku mutu. Selain itu, masyarakat di sekitar area pertambangan juga mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), TBC, dan gejala kanker nesofaring.
Target 8: Meminimalkan dampak perubahan iklim dan pengasaman laut pada keanekaragaman hayati dan ekosistem melalui mitigasi, adaptasi dan meningkatkan ketahanan ekosistem.
Salah satu contoh ekosistem yang rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah terumbu karang. Misalnya, fenomena coral bleaching di Kalimantan Timur, yang diakibatkan oleh peningkatan suhu. Berdasarkan penelitian analisis geospasial terkait penggunaan lahan pada pertambangan batubara oleh El-Hamid dkk (2019), aktivitas pertambangan akan mengubah faktor iklim seperti temperatur dan curah hujan di sekitar area pertambangan. Peningkatan temperatur tersebut berakibat pada peningkatan evapotranspirasi di sekitar kawasan pertambangan secara signifikan. Hal ini merusak siklus hidrologi di sekitar kawasan pertambangan dan merusak daur materi di sekitar kawasan pertambangan. Penelitian terkait efek deforestisasi dan perubahan iklim terhadap Kalimantan oleh Wolff dkk (2021) memaparkan bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir 1 derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Hal ini berbahaya bagi keberlanjutan terumbu karang yang sangat sensitif dengan kenaikan suhu.
Target 14: Memastikan integrasi penuh keanekaragaman hayati dan berbagai nilainya ke dalam kebijakan, peraturan, perencanaan dan proses pembangunan, di dalam dan di semua tingkat pemerintahan dan di semua sektor, salah satunya pertambangan.
Pertambangan merupakan salah satu sektor industri yang dicantumkan dalam target 14 oleh CBD. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini menjadi perlu diwaspadai karena rentan berkontribusi negatif terhadap keanekaragaman hayati. Penelitian yang mendalami dampak pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Amerika Serikat oleh Giam dkk (2018) menyatakan bahwa tambang batubara berkontribusi terhadap penurunan kekayaan dan kelimpahan biodiversitas. Penurunan kekayaan rata-rata sebesar 32% dan kelimpahan rata-rata sebesar 53% di area tambang batubara dibandingkan dengan area yang tidak ditambang. Kebijakan penerapan mitigation hierarchy pada level avoidance perlu diterapkan pada perusahaan pertambangan batubara sebagai bentuk langkah preventif. Level avoidance merupakan upaya menghindari dampak negatif sejak dini.
Target 18: Pada tahun 2025, hapuskan subsidi dan insentif yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi nasional.
Saat ini, Pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi dan insentif kepada sektor pertambangan batubara. Pemerintah Indonesia menerapkan insentif royalti 0% terhadap perusahaan yang menjalankan hilirisasi batubara. Hilirisasi yang direncanakan pemerintah salah satunya adalah pembuatan Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar substitusi bagi LPG. Padahal berdasarkan kajian tim Perkumpulan AEER, emisi yang dihasilkan proyek pembuatan DME ini 5 kali lebih besar dibandingkan produksi LPG dengan jumlah yang sama. Kebijakan untuk hilirisasi batubara yang menghasilkan DME melalui gasifikasi ini merupakan kebijakan yang tidak tepat karena menghasilkan emisi yang besar dengan perolehan energi yang lebih sedikit. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bahaya bagi keanekaragaman hayati.
Maka dari itu, Indonesia harus menunjukkan komitmen yang lebih ambisius untuk mencapai target-target penyelamatan hayati The Post-2020 Global Biodiversity Framework. Indonesia harus berkomitmen untuk menghentikan upaya perluasan area pertambangan batubara dan mencabut izin pertambangan batubara untuk penyelamatan keanekaragaman hayati dari ancaman kerusakan energi kotor.
Artikel ini di muat oleh Kompas (https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/14/075101265/tinggalkan-batu-bara-demi-mencapai-target-penyelamatan-keanekaragaman?page=all)
Daya serap karbon mangrove yang terancam hilang lebih banyak dari hasil pengurangan karbon proyek listrik tenaga angin Jeneponto
Siaran pers
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat
Jakarta (28 April 2022) Pulau Kalimantan sumber terbesar batubara batubara di Indonesia, hampir 86% produksi batubara nasional1. Tingginya aktivitas pertambangan di Kalimantan menyebabkan penurunan jasa lingkungan dan mengganggu kehidupan satwa liar. Padahal Kalimantan merupakan pulau kaya sumber keanekaragaman hayati.
Menurut kajian yang dilakukan oleh Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)2, ada 35 tambang batubara masing-masing luasnya lebih dari 10.000 ha berada dalam radius 25 km dari kawasan konservasi. Selain itu, setidaknya ada 5 spesies masuk kategori critically endangered di dalam dan di sekitar kawasan pertambangan (radius 25 kilometer). Spesies tersebut adalah Eretmochelys imbricata (penyu sisik), Hopea rudiformis, Pongo pygmaeus (orangutan kalimantan), Aquilaria malaccensis (gaharu), dan Sphyrna lewini (hiu kepala martil).
Menurut data keanekaragaman hayati GBIF, spesies-spesies dengan tingkat kerentanan critically endangared ditemukan pada 7 perusahaan tambang kajian, yaitu PT Insani Baraperkasa, PT Multi Harapan Utama, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Indobara Semesta, PT Singlurus Pratama Coal, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Persada Berau Jaya Sakti. Sejumlah 33 spesies tingkat kelangkaan endangered; dan 69 spesies kelangkaannya kategori vulnerable, hidupdi dalam dan sekitar kawasan pertambangan. Beberapa spesies tersebut adalah Nasalis larvatus (bekantan) dan Helarctos malayanus (beruang madu). Aktivitas pertambangan PT Kaltim Prima Coal dan PT Indominco Mandiri berkontribusi terhadap penurunan daya dukung habitat orangutan hingga sebesar 60%3.
Jika mengacu pada data tutupan lahan tahun 2019 dari KLHK, aktivitas pertambangan pada 19 perusahaan tambang kajian berpotensi memberikan ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove. Perusahaan tambang tersebut adalah PT Amanah Putra Borneo, PT Arutmin Indonesia, PT Batubara Selaras Sapta, PT Berau Coal, PT Berau Indobara Semesta, PT Borneo Indobara, PT Delma Mining Corporation, PT Indominco Mandiri, PT Insani Baraperkasa, PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Lanna Harita Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Perkasa Inakakerta, PT Persada Berau Jaya Sakti, PT Santan Batubara, PT Singlurus Pratama, PT Sumber Daya Energi, dan PT Tambang Damai. Kemampuan serapan karbon ekosistem mangrove sekitar pertambangan dapat mencapai angka 245.028,37 ton karbon per tahun, melebihi kemampuan PLTB Tolo di Jeneponto, Sulawesi Selatan yang hanya mereduksi 160.600 ton karbon. Jika aktivitas tambang batubara di sekitar ekosistem mangrove tetap berlanjut, maka kemampuan daya serap karbon akan mengalami penurunan sebagai akibat dari degradasi ekosistem mangrove yang terjadi.
Aktivitas pertambangan telah mengubah bentang lahan dalam skala besar serta melepaskan polutan yang merusak ekosistem yang menampung ribuan spesies flora dan fauna. Pembukaan lahan untuk aktivitas pertambangan merusak faktor iklim mikro seperti temperatur dan curah hujan4. Pembukaan lahan yang dilakukan menghilangkan berbagai jasa lingkungan dan memberikan pengaruh buruk kepada kualitas kehidupan.
Iqbal Patiroi, Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim Perkumpulan AEER menyatakan bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan perlu dikurangi dan dihentikan, disertai proses transisi yang berkeadilan bagi seluruh pihak dan lingkungan. Disamping itu, upaya restorasi dan rehabilitasi pada setiap kawasan pertambangan mesti dilaksanakan dan dikawal secara ketat dan serius agar dapat membentuk ekosistem yang berkelanjutan. Dengan demikian, satwa liar dapat hidup dengan aman di alam bebas dan menjalankan peranan ekologisnya sehingga lingkungan kehidupan tetap berada dalam kondisi atau keadaan yang seimbang.
Kontak media:
Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim iqbalpatiroi@aeer.info/
Tidak hanya di sektor pembangkit listrik, transisi ke energi terbarukan sedang terjadi di sektor manufaktur. Perubahan iklim yang sedang terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya telah meluas.
Industri pengolahan nikel di Maluku Utara (Foto: Rabul Sawal)
Sektor industri yang paling besar menggunakan energi adalah industri makanan dan minuman, pupuk dan kimia, dan semen yang berarti bahwa industri ini menghasilkan emisi yang sangat besar. Beberapa diantara mereka telah beralih menggunakan energi terbarukan.
Di Indonesia, batu bara adalah sumber energi fosil yang paling banyak digunakan dibandingkan dengan energi lainnya, mencapai 38 persen dari total energi nasional pada 2021
Siti Shara, Peneliti Keuangan Iklim dan Energi Perkumpulan AEER menyatakan peralihan ke energi terbarukan oleh industri hendaknya dilakukan secara signifikan, bukan sebatas greenwashing. Perusahaan yang belum melakukan transisi ke energi terbarukan kian memiliki resiko tinggi terhadap citra produknya.
Perkumpulan AEER mencatat transisi ini terjadi di beragam sektor. Dalam sektor makanan dan minuman, Danone-Aqua (Danone Indonesia) sebagai perusahaan minuman terbesar di Indonesia telah membangun 4 PLTS Atap di sepanjang tahun 2018-2021 dan menargetkan pemasangan panel surya di 21 pabrik Danone-AQUA di Indonesia dengan total kapasitas lebih dari 15 MWp pada 2023. Di sektor pupuk dan kimia, ada PT Chandra Asri Petrochemical Tbk yang telah membangun instalasi panel surya pada tahun 2019 dan dilanjutkan dengan penambahan panel pada tahun 2021. Berikutnya ada PT. Pupuk Kaltim yang memasang pembangkit tenaga surya dengan sistem rooftop on grid pada tahun 2022. Di sektor semen, ada (PT Semen Padang) dan PT Semen Tonasa yang sudah keluar dari ketergantungan terhadap batu bara. Mereka menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya di plant mereka.
Beberapa industri lain juga telah mengambil tindakan dan menegosiasikan percepatan transformasi energi dari fosil ke energi terbarukan. Namun jumlah ini masih kalah jauh dengan jumlah industri yang belum melangkah menuju energi bersih. Jika lima perusahaan makanan terbesar di Indonesia – yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, PT Sido Muncul Tbk, PT Akasha Wira International Tbk, dan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk membangun PLTS dengan kapasitas yang sama dengan Danone Indonesia, ini akan mengurangi emisi lebih dari 83.000 ton CO2/tahun.
Di sektor pupuk, ada PT Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk dan kimia terbesar di Indonesia dan memiliki 9 anak perusahaan yang belum beralih ke energi ramah lingkungan. Mereka masih menggunakan energi fosil untuk sumber listriknya. Selain itu, PT. Lotte Chemical Titan Nusantara, PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), PT. Kaltim Pasifik Amoniak, PT. Lautan Luas Tbk sebagai industri terkemuka belum mengganti sumber energinya ke energi hijau.
Meski 2 anak perusahaan PT Semen Indonesia sudah melakukan transisi energi, masih terdapat anak perusahaan lainnya yang belum beralih meninggalkan energi batu bara. PT. Semen Indonesia menguasai 53,1% pasar semen nasional. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) dan PT. Semen Jawa juga sama.
Siti Shara menambahkan, menggunakan energi batu bara memiliki dampak yang sangat buruk untuk lingkungan dan mengalami kerugian secara ekonomi. Pilihan terbaik adalah menggantinya dengan energi bersih. Industri dapat mencapai efisiensi energi untuk mengurangi dampaknya terhadap lingkungan. Kami meminta kepada industri-industri yang belum menggunakan energi terbarukan untuk mengambil langkah konkrit menghapus batubara dari sumber energi listrik mereka. Industri sudah harus meninggalkan energi kotor yang sangat nyata merusak lingkungan. Secara ekonomi, membangun pembangkit listrik baru dari energi terbarukan semakin murah daripada mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara baru. Industri juga dapat mengurangi biaya penanggulangan lingkungan akibat emisi batubara. Ini adalah bagian dari upaya membangun ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup manusia, dan menyelamatkan bumi dari krisis iklim.
Siaran Pers Merespon Perumusan The Post 2020 Global Biodiversity Framework Convention on Biological Diversity
Dikeluarkan Oleh Perkumpulan AEER, Jatam Kaltim, Kanopi Hijau Indonesia
Sebuah kawasan tambang di Kalimantan Timur (Foto: Jatam Kaltim)
Bengkulu, Jakarta, Samarainda (Senin 14 Maret 2022)
The Convention on Biological Diversity (CBD) tengah mempersiapkan The-Post 2020 Global Biodiversity Framework. Target kerangka kerja yang tengah dirancang itu diharapkan dapat tercapai pada tahun 2050 dengan milestones pada tahun 2030. Kerangka kerja ini melanjutkan Aichi Biodiversity Targets yang sudah dirancang pada dekade sebelumnya yang dinilai tidak mencapai target secara global dalam penyelamatan keragaman hayati.
Tiga oganisasi lingkungan berpendapat Indonesia dapat berkontribusi bagi inisiatif penyelamatan keragaman hayati global ini dengan penghentian perluasan wilayah produksi pertambangan dan pencabutan izin pertambangan yang masih eksplorasi dan
Aktivitas pertambangan batubara yang besar di Pulau Kalimantan merusak kondisi keanekaragaman hayati. Aktivitas pertambangan seperti pembersihan lahan, penggalian top soil¸serta pengangkatan overburden memberikan dampak buruk pada skala bentang lahan serta mengganggu proses-proses ekologis yang terjadi di sekitar kawasan. Perusakan proses ekologis berpotensi mengurangi habitat kehidupan liar serta mengurangi keanekaragaman hayati kawasan setempat.
Berdasarkan kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menggunakan data keanekaragaman hayati Pulau Kalimantan serta data aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan, didapatkan bahwa aktivitas pertambangan di Pulau Kalimantan memberikan ancaman signifikan pada keanekaragaman hayati. Berbagai spesies yang dilindungi – baik menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) atau menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – terancam akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan di sekitar habitat kehidupan liar. Selain itu, berbagai ekosistem yang memiliki peran penting sebagai habitat kehidupan liar – seperti hutan lahan kering serta hutan mangrove – terancam mengalami degradasi akibat aktivitas tambang di sekitar ekosistem tersebut. Hal tersebut terjadi karena lokasi aktivitas pertambangan yang berdekatan dengan keberadaan spesies-spesies dilindungi dan ekosistem penting yang mendukung kehidupan liar serta manusia yang ada di sekitarnya. Beberapa spesies penting yang terdampak akibat aktivitas pertambangan di Kalimantan antara lain Pongo pygmaeus (Orangutan Kalimantan), Sphyrna lewini (Hiu kepala martil), Helarctos malayanus (Beruang madu), serta Nasalis larvatus (Bekantan).
Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kalimatan Timur menyatakan, pertambangan merusak keanekaragaman hayati melalui degradasi serta pengurangan habitat kehidupan liar. Transisi energi dari penggunaan batubara menuju energi bersih serta ramah lingkungan akan menghentikan aktivitas pertambangan batubara, konversi lahan dan perubahan iklim global dapat diperlambat. Keanekaragaman hayati, serta manfaat yang diberikan olehnya akan menyediakan berbagai jasa ekosistem (ecosystem services) yang sangat bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Akan tetapi, degradasi habitat serta kepunahan yang mengancam keanekaragaman hayati global akan terus terjadi jika produksi batubara tidak dikurangi.
Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Iklim dan Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER menyatakan laju kepunahan hayati global meningkat sebesar seribu kali lipat dibandingkan dengan catatan fosil yang tersedia dan dapat meningkat hingga sepuluh kali lipat lagi di masa mendatang salah satunya karena kegiatan penambangan batubara. Penilaian dari IPBES ( Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) pada tahun 2021 bahwa setidaknya 75% dari luas lahan dunia telah berubah secara signifikan dan 35% dari spesies dunia mengalami ancaman kepunahan juga tercermin di dalam keadaan keragaman hayati Pulau Kalimantan.
Ali Akbar, Ketua Badan Eksekutif Kanopi Hijau Indonesia menyatakan, komunitas global seharusnya mengambil langkah untuk menghentikan ancaman kepunahan yang sudah terjadi secara global. Aichi Biodiversity Targets yang sudah disepakati tahun 2011 dan berlaku hingga tahun 2020 telah gagal mendorong masyarakat global untuk memperlambat laju penurunan keanekaragaman hayati global. Dibutuhkan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati baru untuk meneruskan semangat konservasi yang telah diusung melalui Aichi Biodiversity Targets dengan tetap mempertimbangkan hasil serta kekurangan pada framework sebelumnya. Dengan perbaikan pada rancangan kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati yang baru, diharapkan masyarakat global serta pembuat kebijakan mampu memenuhi komitmen yang akan disepakati bersama. Penghentian perluasan wilayah produksi tambang batubara penting menjadi strategi utama.
Kontak media
Muhammad Iqbal Patiroi, Koordinator Program Iklim & Keanekaragaman Hayati Perkumpulan AEER, iqbal[at]aeer.info/
Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kalimatan Timur,