Siaran Pers : Festival Demokrasi Energi Jakarta

Perkumpulan AEER, XR Indonesia, KSBSI, dan KPBI 

Jakarta, 11 November 2022

Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.

Demokrasi energi lahir dari upaya aktivis lingkungan menghargai otonomi lokal atas sumber daya dan operasi energi, pengambilan keputusan yang demokratis, menolak berbagai bentuk ketidakadilan lingkungan, dan mempromosikan transisi yang adil. Untuk bekerja menuju demokrasi energi—transisi energi sosioteknik yang diresapi dengan praktik dan cita-cita demokrasi—memerlukan para aktivis lingkungan untuk terlibat dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru partisipasi, hubungan kekuasaan, praktik keadilan, dan konfigurasi teknologi energi.

“Berbagai macam bencana ekologis akibat krisis iklim kian melanda di berbagai wilayah menjelang KTT G20 di Bali harus menjadi peringatan, apalagi para pemimpin G20 untuk menghentikan solusi palsu terkait krisis iklim. Para pemimpin negara G20 harus serius melakukan transisi energi dan berkeadilan.”

“Penggunaan energi fosil pembangunan yang ekstraktif sebagai penyebab krisis iklim harus segera dihentikan jika bencana akibat krisis iklim ini tidak semakin meluas. Dalam KTT G20 yang akan berlangsung di tanggal 15-16 November di Bali, jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya.”

“G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.” Tambah Ary Jr dari Extinction Rebellion Indonesia

Bauran energi batu bara di Indonesia juga tidak berhenti menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, jumlah bauran energi batubara di Indonesia adalah 68,7%, naik dari 54,7% pada 2015. Sementara itu, jumlah bauran energi terbarukan masih berjumlah 12,8% pada 2022, turun dari 13% pada 2015. 

Komitmen serius pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim diperlukan untuk menangani permasalahan tersebut. Penggunaan energi terbarukan tidak berkembang cukup pesat untuk mencapai target bauran energi dan memperlambat peningkatan penggunaan bahan bakar fosil. Transisi energi yang dilakukan saat ini masih belum demokratis memihak kepada masyarakat dan pekerja. Konsep demokrasi energi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ketidakadilan energi secara holistik dan berkelanjutan. Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik disampaikan oleh Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Menurutnya, kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”. Beliau juga menyoroti soal komitmen pendanaan pada transisi energi di Indonesia. “Indonesia perlu meninggalkan energi fosil dan perlu fokus dalam pelaksanaan komitmen pendanaan internasional. Selain itu, pelaksanaan pajak keuntungan lebih bagi perusahaan yang bergerak di bidang energi fosil juga perlu dijalankan.” Tambahnya.

Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga setuju akan hal tersebut. Tanggung jawab pembayaran pajak bagi penyumbang emisi terbesar juga menjadi salah satu solusi dalam mewujudkan keadilan iklim.Transisi yang Adil dari energi fosil menuju energi bersih dan terbarukan perlu direncanakan dengan matang dan bertahap, seperti menegakkan keadilan iklim, baik antar negara maupun antar generasi saat ini dan generasi mendatang. Selain itu, perlu melibatkan pekerja dan penduduk lokal yg akan terdampak atas kebijakan transisi; meliputi; Kompensasi dan kebutuhan skill (upskilling dan reskilling) untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang baru dari transisi energi.”

Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan. Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi sistem energi saat ini menganggap bahwa energi sebagai komoditas berharga untuk menghasilkan keuntungan. Michael dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menegaskan, “Salah satu bentuk implementasi dari demokrasi energi adalah menghentikan proses liberalisasi sektor ketenagalistrikan, sebab menyerahkan pengelolaan sektor energi ke pihak swasta (privatisasi) dapat menyebabkan kerugian bagi negara dan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah melalui kementerian BUMN sedang berupaya membentuk Holding dan Subholding di PLN yg mengarah pada proses liberalisasi (swastanisasi) sektor ketenagalistrikan.”

Jika transisi energi tidak dilakukan secara bijaksana, maka isu transisi energi hanya akan menjadi solusi palsu yang menyebabkan permasalahan baru yang lebih besar. Oleh karenanya, konsep demokrasi energi perlu dimasukkan ke dalam diskusi transisi energi berkeadilan. Terdapat lima prinsip dasar demokrasi energi yang holistik serta berkeadilan untuk masyarakat dan lingkungan, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat. 

Demokrasi energi penting untuk dibicarakan di Indonesia karena transisi energi bukan hanya berfokus pada substitusi energi fosil ke energi terbarukan, tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan secara lebih berkeadilan.

Narahubung: 

Ary Jr (XR Indonesia) +62 877-2863-7717 – Kunny Izza (AEER) +62 852-2633-4626

Transisi Energi yang Adil: Waspada Solusi Palsu

Transisi Energi yang Adil: Waspada Solusi Palsu

Siaran Pers

Perkumpulan AEER dan 350 Indonesia

Denpasar, 25 September 2022

G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.

Ketut Mangku Wijana, seorang warga sekitar PLTU Celukan Bawang, bercerita bahwa seumur hidupnya pohon kelapanya tidak pernah meranggas. Tidak seperti beberapa tahun terakhir setelah PLTU dibangun.Penyebab rusaknya pohon-pohon kelapa di kebunnya bukan karena hama karena tidak ada pohon yang terkena hama. Di kebunnya yang lain, yang lokasinya lebih jauh dari PLTU Celukan Bawang, pohon kelapanya baik-baik saja. “Dampak proyek ini sangat jelas buruk baik saat ini maupun dan dalam jangka panjang. Dampak ke tanaman pangan, pohon kelapa, jambu mete dan tanaman yang lain.”

Dampak buruknya tidak hanya itu, limbah B3 dari PLTU Celukan Bawang ternyata dibuang di pinggir jalan di daerah Sumberkima, Buleleng. Dijadikan material urug untuk bangunan. “Ini yang kita tidak tahu, apakah masyarakat tidak tahu bahwa itu limbah B3 dan masyarakat meminta material urugan atau itu sengaja ditawarkan kepada masyarakat.”

Di Bali bagian selatan, rencana pembangunan terminal LNG sebagai bagian dari transisi energi, juga berpotensi merusak lingkungan hidup. Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali, menyampaikan, “pembangunan terminal LNG ini akan dilakukan dengan cara mengorbankan 14,5 hektar mangrove karena aktivitas dredging yang akan menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung pesisir sanur”.

Khamid Istakhori, dari Global Organizing Academy, Building and Wood Workers International Building menyatakan, pembangunan PLTU tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga promosi bahwa PLTU dibangun untuk membuka lapangan pekerjaan besar, itu adalah ilusi kosong. “Serikat pekerja dan aktivis lingkungan sama-sama bagian dari masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan PLTU ini. Sehingga harus ada solusi yang adil dalam transisi ini harus dipikirkan solusinya berkeadilan untuk semua pihak termasuk para pekerja.” ujarnya.

Sementara itu, Sisilia Nurmala Dewi, Asia Managing Director 350.org menyatakan perluasan energi fosil adalah problem yang terbesar yang dihadapi generasi ini, dan saat ini juga sedang didorong transisinya juga melalui Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah pendanaan dari negara maju untuk transisi energi dan kesempatan pertama diberikan kepada Afrika Selatan, secara khusus perusahaan penyedia listrik publik di sana yaitu ESKOM. Skema yang sama digadang-gadang akan diberlakukan juga untuk Indonesia. 

Menurut Sisilia, PLN sebagai perusahaan yang kemungkinan besar akan menerima pendanaan tersebut perlu banyak berbenah. “ESKOM sudah punya target sampai nol emisi pada 2050 juga pipeline transisi energi. Sedangkan PLN  tidak punya pipeline transisi energi dan target nol emisinya lebih jauh, 2060. PLN tidak punya target yang kuat, spesifik dan serius untuk melakukan transisi energi di indonesia.”

Menurut Kunny Izza dari Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan, oleh karena itu butuh demokrasi energi. “Ada lima prinsip dasar demokrasi energi, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat.”

 

Narahubung:

Suriadi Darmoko (350 Indonesia) 0857-3743-9019

Kunny Izza (AEER) 0852-2633-4626

Transisi Energi di G20, Gagal!

Transisi Energi di G20, Gagal!

Siaran Pers

Perkumpulan AEER dan 350 Indonesia

Depansar, 24 September 2022

“Pembahasan transisi energi di G20, dipastikan gagal,” ujar Suriadi Darmoko, Finance Campaigner 350 Indonesia, “Pasalnya, Pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk isu transisi energi tidak mencapai Komunike. Rangkaian panjang pertemuan yang hanya menghasilkan chair’s summary dan kesepakatan Bali COMPACT yang pelaksanaan bersifat sukarela. Atas hal tersebut, menurut saya upaya untuk melakukan transisi energi sebagai upaya untuk memenuhi kesepakatan paris, itu gagal. Transisi Energi di G20, Gagal”

Salah satu Isu prioritas pada G20 adalah transisi energi berkelanjutan dengan kelompok kerja dibawahnya energy transition, environment and climate sustainability. Isu tersebut mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris, membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri. Pada isu tersebut telah dilaksanakan sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) yang puncaknya gagal mencapai komunike atau pernyataan komitmen bersama. 

Proses panjang dalam kelompok kerja energy transition, environment and climate sustainability hanya melahirkan chair’s summary dan Bali COMPACT yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Jika hal tersebut disepakati pada KTT G20, tidak ada tanggung jawab apapun dari negara-negara G20 menjalankan kesepakatan tersebut.

Padahal, lanjut Suriadi Darmoko,  75 persen permintaan energi dunia berasal dari negara G20. “Artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim,” ujarnya, “Urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20’. 

Kesukarelaan negara-negara G20 ini, lanjutnya, hanya menjauhkan kita untuk mencapai tujuan bersama yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. “Negara G7 dan juga G20 tidak ada kemauan politik untuk transisi ke 100 persen energi terbarukan, Justru yang menguat adalah narasi energi bersih yang telah ditunggangi oleh solusi-solusi palsu dari energi fosil” ujarnya.

Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik mendapatkan kritik dari Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). menurutnya , kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”

Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. “Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.”

Saat ini, kebijakan listrik contohnya, rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodir pendirian PLTU baru saat Indonesia hanya 8 tahun menuju puncak emisi tahun 2030. Pembangunan pembangkit energi berbasis fosil ini sangat sentralistik. “Akibat kebijakan energi yang tidak demokratis ini, persiapan transisi berkeadilan tidak terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan  dalam cukup besar” ungkapnya.

Sementara kebijakan masih sentralistik dan bergantung penuh pada energi fossil, Bali, sebagai lokasi pertemuan G20, kerentanan Bali terhadap krisis iklim terus meningkat. Trend bencana hidrometeorologi terus meningkat. Menurut I Nyoman Gede Wiryajaya, Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah III, kedepan hujan akan lebih singkat dengan intensitas yang lebih tinggi.”

“Bali, suhu udaranya mengalami trend yang terus meningkat, trend musim hujan yang meningkat, juga kemarau yang akan menjadi lebih panjang ke depan. Sehingga, bencana akan semakin banyak terjadi”, ujarnya.

“Transisi energi yang molor, agenda transisi yang jalan mundur dan justru mewacanakan energi palsu itu sama dengan mereka sedang membiarkan Bali sebagai tempat pertemuan G20, semakin rentan dan semakin terancam krisis iklim.” pungkas Moko.

Kontak:

Narahubung:

Suriadi Darmoko (350 Indonesia) 0857-3743-9019

Kunny Izza (AEER) 0852-2633-4626