Transisi Energi Indonesia dari Segi Pendanaan dan Lingkungan

Transisi Energi Indonesia dari Segi Pendanaan dan Lingkungan

Tanggal 8 November 2022

Mekanisme Transisi Energi dan Pensiun Dini PLTU

 

Permasalahan krisis iklim global semakin lama semakin memburuk jika tidak ada upaya konkret dalam mengatasinya. Sejak Paris Agreement ditandatangani pada tahun 2015, sebanyak hampir 200 negara berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim dan mengejar upaya untuk memperkuat mitigasi iklim, adaptasi, dan pendanaan iklim. Paris Agreement mendorong negara yang meratifikasi perjanjian tersebut untuk dapat mencapai puncak global emisi gas rumah kaca sesegera mungkin dan mengakui bahwa puncak penurunan emisi akan memakan waktu lebih lama bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang telah berkomitmen dan memperbarui target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 23 September 2022 dengan meningkatkan target penurunan emisi atas usaha sendiri dari 29% menjadi 31,89% dalam NDC terbaru. Sementara itu, target penurunan emisi dengan bantuan internasional juga mengalami peningkatan dari 41% menjadi 43,20%.

Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, proyeksi total emisi gas rumah kaca di Indonesia dari sektor energi pada tahun 2030 skenario Business as Usual sebesar 433 juta ton CO2. Hasil dari penggunaan energi batubara menjadi penyumbang emisi sebanyak 298,9 juta ton CO2 dari total emisi 335 juta ton CO2 atau setara 89% di tahun 2030 dengan skenario low carbon. Maka, transisi dari energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta pengembangan transportasi publik berbasis energi terbarukan diperlukan sebagai upaya yang harus ditempuh Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Salah satu upaya transisi energi dari energi fosil ke EBT adalah Energy Transition Mechanism (ETM). Program ini merupakan sebuah komitmen dari Asian Development Bank (ADB) terhadap aksi penyelamatan iklim di kawasan Asia Pasifik. Indonesia menjadi satu dari beberapa negara yang bekerjasama dalam aksi iklim menggunakan ETM berupa pensiun dini PLTU dan juga transisi energi yang lebih bersih. ETM partnership sendiri diluncurkan pada 03 November 2021 di Glasgow bersamaan dengan agenda Conference of the Parties (COP 26 Glasgow). Saat ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) merencanakan penghentian secara bertahap operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara untuk mencapai Net Zero Emission 2060.

Terdapat tiga opsi skema pendanaan pensiun dini PLTU yang dipaparkan dalam presentasi pengenalan ETM, yaitu

  1. model akuisisi berfokus pada pengakuisisian PLTU dalam hal modal dan kepemilikan,
  2. model sintetis berfokus pada pemberian investasi langsung kepada pemilik PLTU untuk dikelola oleh pemilik dalam memensiunkan PLTU miliknya, dan
  3. model portofolio berfokus pada pemberian dana kepada pihak ketiga (financers) dalam pengelolaan dana untuk pensiun dini. Dikutip dari rencana Climate Investment Fund-Acceleration Coal Transition (CIF-ACT) ADB bersama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana menerapkan pensiun dini pada 9 PLTU sebelum tahun 2030. Namun, kegiatan pensiun dini tersebut dilakukan pada PLTU yang sebagian besar sudah beroperasi lama (lebih dari 10 tahun) sehingga penerapan pensiun dini tidak akan optimal.

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU seharusnya dilakukan pada PLTU baru yang beroperasi selama kurang dari dua tahun, bukan PLTU yang sudah lama beroperasi. Sewajarnya, diluar program ETM, pemberhentian operasi sudah harus dilakukan pada PLTU yang dinilai “cukup tua” karena kinerja kontrol pencemaran lingkungan yang sudah menurun, tidak mutakhir, dan sudah memiliki keuntungan nilai investasi. Disamping itu, AEER juga merekomendasikan proyek pensiun dini perlu diterapkan pada PLTU yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan PLTU yang bahan bakunya bersumber dari pertambangan batubara dengan tingkat risiko tinggi terhadap keanekaragaman hayati.

Berdasarkan kajian AEER, pertambangan batubara milik PT Berau Coal yang menjadi salah satu pemasok batubara untuk PLTU Suralaya adalah salah satu pertambangan yang termasuk kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati. PLTU Suralaya ini termasuk dalam datar 9 PLTU yang akan pensiun dini sebelum 2030. Hasil dari kajian AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan” tersebut menunjukkan bahwa, sebanyak 23 lokasi pertambangan tergolong kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 10 pertambangan masuk dalam kategori ancaman sedang, dan 2 pertambangan tergolong kategori ancaman rendah terhadap keanekaragaman hayati dari 35 pertambangan batubara yang menjadi objek kajian di Kalimantan. Laporan ini dapat menjadi rujukan untuk menentukan PLTU mana yang sumber batubaranya berasal dari pertambangan batubara yang berada di area sensitif terhadap keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2021, AEER juga telah melakukan studi mengenai dampak PLTU dan pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera. Pada laporan tersebut menyatakan bahwa dari 28 PLTU yang dikaji, sebanyak 12 PLTU masuk dalam kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 15 PLTU tergolong kategori ancaman sedang, dan 1 PLTU tergolong kategori ancaman rendah. Berdasarkan kajian tersebut, AEER merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU di Pulau Sumatera dilakukan pada PLTU Sumsel-8 karena memiliki ancaman paling tinggi dan baru akan memulai operasi di tahun 2022. Selain itu, PLTU yang paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati adalah PLTU Sulut 3 dan PLTU ini baru beroperasi tahun 2021 sehingga lebih tepat direkomendasikan untuk diterapkan pensiun dini.

 

Net Zero Emission dan Bauran Energi Baru Terbarukan

 

Hingga tahun 2022, mekanisme transisi energi di Indonesia masih berfokus pada pensiun dini PLTU, dibandingkan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pengembangan EBT masih belum memiliki skema pendanaan dan program yang jelas, dan baru akan mulai direncanakan pengembangannya berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2022.

Analisis Peta Jalan Net Zero Emission (NZE) mengemukakan bahwa target net zero Indonesia dapat dicapai melalui penerapan sumber daya energi terbarukan, efisiensi energi, elektrifikasi, dan interkoneksi jaringan. Efisiensi energi dan elektrifikasi adalah prioritas utama. Indonesia akan menambah sejumlah besar peralatan, mobil, mesin dan infrastruktur dekade ini. Bauran energi baru dan terbarukan menjadi salah satu pijakan dalam proses transisi energi.

Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan pembangkitan tenaga listrik pada akhir tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2050 sebesar 31%. Berdasarkan laporan kajian “Indonesia Energy Transition Outlook 2022” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), bauran energi terbarukan hingga akhir 2021 hanya mencapai 11,2%. IESR menyatakan bahwa perkembangan energi terbarukan masih seperlima dari kapasitas yang seharusnya ditambahkan setiap tahun untuk mencapai target 23% pada akhir tahun 2025.

Dalam Peta Jalan NZE menyatakan jalan menuju emisi nol membutuhkan modal yang lebih intensif, artinya proses transisi energi menuju energi terbarukan membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Pada tahun 2030, investasi di skenario yang dijanjikan memberikan informasi bahwa sekitar USD 8 miliar lebih tinggi per tahun daripada skenario business as usual (BAU), dengan investasi di pembangkit dan jaringan energi terbarukan (USD 25 miliar) lebih banyak daripada investasi saat ini di seluruh sektor energi. Investasi dalam efisiensi energi naik menjadi USD 10 miliar per tahun pada tahun 2030, peningkatan lima kali lipat pada hari ini. Memobilisasi tingkat investasi ini akan membutuhkan reformasi kebijakan yang signifikan serta dukungan internasional.

Berdasarkan Siaran Pers Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 September 2022, Rida Mulyana, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM menyatakan bahwa Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga 1 triliun Dollar Amerika Serikat hingga tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan dari pihak lain dalam pendanaan menuju percepatan transisi energi, yaitu pendanaan dari negara maju seperti negara G7 melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), dukungan bilateral Indonesia-Jerman melalui skema Green Infrastructure Initiative (GII), lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB).

 

Pendanaan Transisi Energi

 

Pada laporan Carbon Zero Analytics (CZA) 2022 menyampaikan bahwa Afrika Selatan menjadi negara contoh (pilot project) pengembangan pendanaan transisi energi dimana beberapa negara maju berkomitmen untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi rendah karbon di Afrika Selatan. Just Energy Transition Partnership (JETP) ini melihat Prancis, Jerman, Inggris, AS, dan UE (Kelompok Mitra Internasional, atau IPG) berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar USD 8,5 miliar selama tiga hingga lima tahun untuk mendukung rencana iklim nasional Afrika Selatan. Pembiayaan yang diberikan bisa berupa hibah, pinjaman lunak (dengan suku bunga lebih rendah daripada yang tersedia dari bank komersial), melalui pembiayaan swasta, jaminan atau dukungan teknis. Program JETP bertujuan untuk menghapus batubara secara bertahap dan mempercepat penyebaran energi terbarukan di sistem kelistrikan Afrika Selatan yang sangat bergantung pada batubara.

Pada laporan Climate Finance Report, menyampaikan bahwa anggota G7 menegaskan niat mereka untuk maju dalam negosiasi dengan Indonesia, India, Senegal, dan Vietnam. Pimpinan negara anggota G7 setuju untuk meninjau kemajuan JETP baru yang potensial ini pada COP 27. Tiga dari 4 negara tersebut merupakan negara berkembang dengan konsumsi energi batubara terbesar di dunia. Dalam laporan CZA tahun 2022, mengkritisi bagaimana proses JETP yang sedang berlangsung di Afrika Selatan tidak memiliki transparansi dan keterlibatan masyarakat sipil yang memadai, sehingga membatasi efektivitasnya. Lalu, untuk menjadikannya lebih efektif, CZA menambahkan agar donor harus memprioritaskan hibah dan pembiayaan konsesional dalam kesepakatan JETP untuk mendanai elemen paling penting dari transisi yang adil, seperti dukungan dan pelatihan ulang bagi pekerja. Indonesia yang akan menjadi salah satu negara penerima inisiatif JETP semestinya juga perlu disertai dengan kesiapan pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan panduan yang jelas dalam menjalankan pensiun dini PLTU.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Jerman memiliki kerjasama dalam misi memerangi perubahan iklim dengan nama Green Infrastructure Initiative (GII). GII merupakan bagian dari inisiatif iklim Indonesia-Jerman yang disepakati dalam rangka perundingan bilateral pemerintah Indonesia-Jerman pada 1 Oktober 2019 di Berlin. Salah satu implementasi proyeknya berupa pembangunan Urban Public Transport yang diperkirakan mencapai 4057 juta EURO atau setara dengan 61,8T Rupiah.

Asian Development Bank (ADB) pada siaran persnya menyatakan bahwa mekanisme Transisi Energi (ETM) yang dipelopori oleh ADB berpotensi tidak hanya menjadi alat yang ampuh dalam memerangi perubahan iklim, tetapi juga untuk pembenahan sektor energi di Asia dan Pasifik. ETM bertujuan untuk mempercepat penghentian atau penggunaan kembali pembangkit bahan bakar fosil sekaligus menciptakan ruang dan peluang investasi untuk teknologi energi terbarukan dan bersih. Menghentikan 50% armada batubara di tiga negara percontohan ETM—Indonesia, Filipina, dan Vietnam—dapat memangkas 200 juta ton CO2 per tahun, setara dengan menghilangkan 61 juta mobil dari jalan. Itu akan menjadikannya salah satu program pengurangan karbon terbesar di dunia. Pekerjaan ini akan memiliki konsekuensi yang luas, termasuk perubahan dalam hal pekerjaan, rantai pasokan, dan infrastruktur ketika negara-negara bertransisi dari sistem energi yang bergantung pada bahan bakar fosil ke sistem yang didasarkan pada energi bersih.

Pada aksi penyelamatan iklim, selain berusaha menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi, juga harus berorientasi pada pengembangan energi terbarukan. ADB dinilai belum menjadikan pengembangan sebagai fokus utama yang seharusnya bisa dijalankan dengan pensiun dini PLTU secara bersamaan. Hal tersebut tergambar pada Indicative timeline to operationalize ETM yang menggambarkan bahwa sampai Q4 tahun 2022 fokus ETM masih kepada teknis pendanaan ETM untuk teknis pensiun dini PLTU, yang juga dijabarkan dengan rinci bagaimana program ACT Investment Program.

Indonesia membutuhkan pendanaan besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Pada pertemuan G7 bulan Juni 2022 di Jerman, Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dana sekitar 25-30 miliar USD untuk beralih ke energi bersih selama delapan tahun ke depan (hingga tahun 2030). Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan internasional untuk bisa transisi energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sebelumnya, pada pertemuan G7 tahun 2021, dikatakan bahwa direncanakan dua macam pendanaan baru untuk CIF dalam menekan perubahan iklim di negara berkembang termasuk Indonesia. Dua pendanaan tersebut adalah Accelerating Coal Transition (ACT) dan Renewable Energy Integration (REI). Namun, pada dokumen Energy Transition Mechanism (ETM) Introduction yang dikeluarkan oleh ADB, dinyatakan bahwa saat ini masih berfokus pada aliran kerja utama ACT, sedangkan REI belum memiliki rencana aliran kerja utama. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan komitmen dari ADB dalam pengembangan REI, karena pengembangan energi terbarukan membutuhkan biaya yang sangat besar.

Pengembangan energi terbarukan perlu dimaksimalkan untuk mengurangi dampak negatif polusi dan perubahan iklim yang berakibat pada terjadinya bencana alam. Dilansir dari Bisnis.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa kerugian negara tahunan akibat bencana alam mencapai Rp 20 Triliun, dan didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, dan puting beliung. Sehingga konsekuensi dari transisi energi ini tidak hanya sebagai penurunan emisi gas rumah kaca saja, tapi akan ada banyak dampak baik yang menyertainya seperti meminimalisir terjadinya bencana dengan mitigasi perubahan iklim menggunakan Renewable Energy (RE).

Perkiraan kebutuhan pendanaan transisi energi di Indonesia sebesar 25-30 Miliar USD hingga tahun 2030 yang setara dengan kisaran nilai 8-8.5 Miliar USD per tahun. Tantangan terbesar Indonesia pada transisi energi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut dengan segera. Pendanaan yang akan diterima Indonesia pada Financing Plan (Indicative) per 2022 tercatat sebesar 800 juta USD, dengan rincian dana 150 juta USD dari ADB, 150 juta USD dari CIF, dan 500 juta USD lainnya berdasarkan dari sumber pendanaan lain. Apabila dibandingkan, tentunya dana yang tersedia dengan jumlah kebutuhan masih sangat jauh jumlahnya, mencakup 2% dari total kebutuhan dana yang ada.

Kebutuhan untuk menutup seluruh armada batubara di Indonesia pada tahun 2040, Indonesia akan membutuhkan 37 miliar USD, atau 1,2 juta USD per megawatt, menurut analisis tersebut, yang menggunakan data dari alat proyek data terbuka Transition Zero yang disebut Coal Asset Transition (CAT). Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan menutup 5,5 GW pembangkit listrik tenaga batu bara sebelum 2030, dengan perkiraan biaya 6 miliar USD atau setara dengan 94T Rupiah.

Hingga saat ini, belum ada pemberitahuan terkait nominal pendanaan dari JETP untuk Indonesia. Sebelumnya, JETP memberikan pendanaan kepada Afrika Selatan sebesar 8,5 miliar USD pada tahun lalu. Pendanaan dari JETP untuk Indonesia dapat merujuk pada perbandingan konsumsi batubara antara Indonesia dan Afrika Selatan. Berdasarkan informasi dari worldometers.info, konsumsi batubara tahunan Afrika Selatan mencapai 202,298,474,200 MMcf, sedangkan Indonesia sebesar 102,623,737,100 MMcf. Berdasarkan perbandingan tersebut, JETP direkomendasikan untuk memberikan pendanaan kepada Indonesia sebesar 4,3 miliar USD.

Climate Investment Fund (CIF) menjanjikan komitmen CIFs Funding Program mereka sebesar 2 Miliar USD untuk memulai program yang terdiri dari program Accelerating Coal Transitions (ACT) sebesar 1,5 miliar USD dan program Renewable Energy Investment sebesar 500 juta USD. Data tersebut menunjukkan bahwa fokus pendanaan porsinya masih lebih besar untuk kegiatan ACT dengan program pensiun dini PLTU. Padahal, pengembangan RE sendiri juga memiliki kebutuhan pendanaan yang tidak sedikit.

Biaya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada di Indonesia pada tahun 2040 diperkirakan mencapai 37 miliar USD. Ini tidak termasuk biaya untuk memperluas pembangkit terbarukan, meningkatkan jaringan transmisi atau memastikan transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat. Industri batubara merugikan negara senilai 10 miliar USD dalam 12 bulan terakhir akibat emisi karbon yang dihasilkannya. Di sisi lain, Lonjakan harga batubara di tengah krisis energi menyebabkan Indonesia sebagai negara eksportir batubara terbesar di dunia memperoleh keuntungan yang sangat besar. Keuntungan atas windfall tersebut seharusnya bisa menjadi modal dalam proses transisi energi menuju energi yang lebih bersih dan berkeadilan agar kerugian yang disebabkan oleh emisi karbon tidak semakin besar.

Mengingat kebutuhan biaya dalam pengembangan energi terbarukan, selain mengharapkan bantuan internasional, Indonesia sendiri sebenarnya juga mampu melakukan pengembangan RE secara mandiri. Pada Tahun 2022, seperti yang dilansir Investor ID, menyebutkan bahawa PT Tamaris Hidro menggelar penawaran umum obligasi Tamaris Hydro I dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp 750 miliar. Sesuai rencana, dana hasil obligasi akan digunakan untuk investasi pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian swasta memiliki peluang yang besar terhadap ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Air untuk mendukung program 35 gigawatt (GW) dan sebaran energi baru terbarukan (EBT) dengan target minimal 23% pada tahun 2025, serta mendukung program pemerintah dalam rencana penambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW yang tercantum dalam Perpres Nomor 04 Tahun 2016.

 

 

Sektor Bisnis dan Keuangan Perlu Perhatikan Keanekaragaman Hayati

Sektor Bisnis dan Keuangan Perlu Perhatikan Keanekaragaman Hayati

Sekretaris Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (CBD PBB), Elizabeth Mrema menyatakan, lebih dari 50 persen ekonomi global bergantung langsung pada alam dan ekosistem. Namun, kegiatan ekonomi tersebut berdampak pada hilangnya area hutan yang sangat luas. Karena itu, sektor bisnis harus bersiap untuk pengawasan yang lebih besar atas risiko terkait alam.

Pengawasan itu dilakukan sebagai konsekuensi atas kerusakan alam yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis dan keuangan. Mrema menegaskan, sektor bisnis perlu menerapkan kerangka kerja untuk menilai dan mengungkapkan risiko, ketergantungan, dan peluang terkait alam melalui kerja sama dengan Task Force on Nature-related Financial Disclosure (TNFD) (The Banker, 22 September 2022).

Kondisi keanekaragaman hayati global mencemaskan

Kondisi keanekaragaman hayati global saat ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan “Global Biodiversity Outlook 5” yang dikeluarkan CBD PBB, dunia telah gagal dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan tidak ada satu pun Aichi Biodiversity Target yang berhasil tercapai sepenuhnya. Aichi Biodiversity Target merupakan target-target penyelamatan keanekaragaman hayati yang sebelumnya ditetapkan oleh CBD PBB pada periode 2011-2020.

Laporan “Nature Loss and Sovereign Credit Ratings” dari Bennet Institute for Public Policy, Universitas Cambridge, tentang peringkat 26 negara dalam skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”, Indonesia bersama dengan Tiongkok diprediksi akan mengalami penurunan kemampuan membayar kredit akibat kehilangan spesies-spesies tumbuhan dan binatang. Sebanyak 12 dari dari 26 negara yang diteliti mengalami peningkatan risiko kebangkrutan lebih dari 10 persen. Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini meliputi penurunan 90 persen jasa ekosistem masing-masing pada perikanan laut, penyerbukan liar, dan pasokan kayu dari daerah tropis.

Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini akan mengurangi kinerja ekonomi sehingga negara-negara akan mengalami kesulitan membayar utang, terbebaninya anggaran pemerintah, dan terpaksa menaikkan pajak, memotong pengeluaran, atau meningkatkan inflasi. Indonesia, bersama Malaysia, Tiongkok, India, dan Bangladesh adalah lima negara yang paling rentan menuju kebangkrutan akibat skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”.

Keterkaitan sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati

Sejumlah negara di dunia yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tengah mempersiapkan Post-2020 Global Biodiversity Framework dalam Konferensi Para Pihak (COP15) yang akan diadakan di Montreal, Kanada pada Desember 2022 nanti.

Kerangka kerja itu akan menjadi batu loncatan menuju visi CBD PBB pada 2050, yaitu Living Harmony with Nature. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan untuk mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati global pasca-2020 adalah keterkaitan antara sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati.

Saat ini diperlukan adanya kebijakan “No Go” pada bank dan lembaga keuangan. Kebijakan ini dilakukan dengan cara melarang pembiayaan langsung atau tidak langsung terhadap seluruh kegiatan yang tidak memenuhi aspek keberlanjutan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif pada area yang diprioritaskan untuk keanekaragaman hayati. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi krisis perubahan iklim, dan mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.

Negara berkembang dan maju perlu meningkatkan pembiayaan pada sektor berkelanjutan. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Taksonomi Hijau 1.0 pada 2022 yang menjadi pedoman umum untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan dapat mendorong percepatan pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mewujudkan emisi nol bersih.

Salah satu kendala yang masih dijumpai adalah minimnya pembiayaan atau investasi yang memenuhi aspek keberlanjutan.

Pembenahan Taksonomi Hijau 1.0 juga perlu dilakukan dengan mengeluarkan sektor batu bara dari kategori kuning (tidak merusak signifikan) padahal dalam kenyataan di lapangan kegiatan penambangan batu bara menyebabkan gangguan tinggi terhadap keanekaragaman hayati. Data investasi bahan bakar fosil pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR) September 2021, sektor ketenagalistrikan menerima investasi baru sebesar 3,61 miliar dolar AS atau sekitar Rp 51,4 triliun.

Dari jumlah itu, sekitar 2,5 miliar dollar atau Rp 35,6 triliun adalah investasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Pada periode yang sama, energi terbarukan hanya menyumbang 1,1 miliar dolar atau sekitar Rp 15,6 triliun dari total investasi dan tidak pernah melebihi 2 miliar dolar atau Rp 28,4 triliun selama enam tahun terakhir. Selain itu, pendanaan untuk pertambangan pun masih sangat tinggi. Pertambangan ini berperan dalam penyediaan bahan baku energi fosil yang masif.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa Pendanaan Domestik (DDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,18 miliar dolar (sekitar Rp 18,3 triliun) dan berada di urutan kedua setelah sektor transportasi. Pendanaan dari luar (FDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,17 miliar  dolar (sekitar Rp 16,8 triliun) dan berada di posisi kedua setelah industri logam, barang logam, kecuali mesin, dan peralatan.

Indonesia perlu secepatnya menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan alam, serta mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Solusi berbasis alam penting diimplementasikan untuk menjawab persoalan ini.

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), solusi berbasis alam adalah tindakan untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan alam atau ekosistem yang dimodifikasi, dan secara bersamaan menyediakan kesejahteraan bagi manusia dan keanekaragaman hayati. Saat ini penting untuk menerapkan solusi berbasis alam pada kegiatan bisnis yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati dan lingkungan.

Penerapan solusi itu  memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, demi mencapai target Post-2020 Global Biodiversity Framework nomor ke-15, yaitu “semua bisnis perlu menilai dan melaporkan ketergantungan dan dampaknya pada keanekaragaman hayati, mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif terhadap keanekaragaman hayati”. Indonesia perlu melakukan percepatan transisi ke energi terbarukan sehingga mendorong perbaikan lingkungan dan mencegah kebangkrutan dalam skenario “runtuhnya jasa ekosistem”.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/18/101000865/sektor-bisnis-dan-keuangan-perlu-perhatikan-keanekaragaman-hayati?page=all#page2

 

Penulis:

Ilham Setiawan Noer (Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim AEER)

Wulan Ramadani (Peneliti Keuangan dan Iklim AEER)

Lebih dari 260 kelompok Masyarakat Sipil meminta Otoritas Cina untuk Memastikan bahwa Bantuan Keuangan Covid-19 Tidak Ditargetkan untuk Proyek-proyek Berbahaya

Lebih dari 260 kelompok Masyarakat Sipil meminta Otoritas Cina untuk Memastikan bahwa Bantuan Keuangan Covid-19 Tidak Ditargetkan untuk Proyek-proyek Berbahaya

 

.Aksi buruh Weda Bay Nickel (PT.IWIP) pada 1 Mei 2020. Salah satu tuntutan buruh adalah terkait dengan penanganan Covid 19 , keharusan isolasi tanpa mendapatkan upah. Sumber foto: Forum Perjuangan Buruh Halmahera Tengah        

Pada tanggal 29 April 2020 lebih dari 260 kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia menyerukan kepada pemerintah Cina untuk memastikan bahwa bantuan keuangan terkait COVID-19 untuk proyek-proyek Belt and Road yang sedang berjalan hanya mengalir ke investasi luar negeri berkualitas tinggi yang memenuhi kriteria ketat tertentu, dan menghindari bail out proyek yang sudah terperosok dalam risiko lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati, iklim, atau keuangan sebelum COVID-19 dimulai.

Pada bulan Februari 2020, Kementerian Perdagangan Cina dan China Development Bank (CDB) bersama-sama mengeluarkan pemberitahuan menciptakan mekanisme untuk mengarahkan keuangan ke proyek-proyek Belt and Road yang telah terkena dampak pandemi COVID-19. Pemberitahuan tersebut menginstruksikan departemen perdagangan lokal dan perusahaan milik negara untuk mengumpulkan informasi tentang proyek-proyek luar negeri yang terkena dampak wabah, dan meneruskan informasi ini ke CDB, yang akan mempertimbangkan memberikan bantuan keuangan. Yang terpenting, pemberitahuan tersebut menyatakan bahwa proyek-proyek yang “berkualitas tinggi”, “sesuai dengan hukum”, dan memiliki “risiko yang dapat dikendalikan” dapat memenuhi syarat untuk menerima bantuan keuangan terkait COVID-19.

Dalam pernyataan itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil menyoroti 60 proyek yang disponsori oleh Cina di bidang pertambangan, pulp dan kertas, tenaga air, infrastruktur, bahan bakar fosil, dan sektor-sektor lain yang tidak memenuhi kriteria ini, dan menetapkan sepuluh prinsip khusus yang jika ada dapat membantu memastikan bahwa proyek “berkualitas tinggi”. Ini termasuk memastikan penilaian dampak lingkungan yang kredibel dan kuat, memperoleh persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari orang-orang yang terkena dampak, berkomitmen untuk tidak berdampak pada area keanekaragaman hayati utama, dan memastikan keselarasan dengan norma-norma internasional dan praktik terbaik dan kebijakan China’s green finance policies, diantara yang lain.

Ketika dunia terus menanggapi krisis COVID-19, ekonomi mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, dan proyek-proyek pembangunan utama terhenti. Ketika kita menemukan cara untuk mengelola krisis dan mulai mengatasi kerugian yang disebabkan oleh pandemi ini, para pelaku pembangunan Cina dan global perlu secara serius mempertimbangkan bagaimana investasi berkualitas rendah, investasi berisiko tinggi tidak hanya mendorong dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, iklim, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga dapat memfasilitasi penyebaran penyakit, sebagai konsekuensi dari perambahan pada ekosistem yang tidak terganggu.

Dalam dunia pasca COVID-19, para pelaku global perlu mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan tegas untuk menstabilkan dan merevitalisasi ekonomi global dengan cara yang aman secara ekologis, berorientasi pada manusia, dan berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap bantuan keuangan terkait COVID-19 dialokasikan untuk proyek dan investasi yang didukung penuh dan memberi manfaat bagi masyarakat lokal, selaras dengan standar internasional dan praktik terbaik, dan melestarikan ekosistem dunia kita yang semakin rapuh.

(Daftar  260 organisasi  dan 60 proyek yang seharusnya tidak didukung akan segera ditampilkan  )

Peninjauan Harga Listrik PLTU Batubara Jangan Mengkompromikan Biaya Perlindungan Lingkungan

22 DESEMBER 2017

Pemerintah melalui Direktorat Ketenagalistrikan mengeluarkan surat peninjauan kembali semua harga dalam perjanjian jual beli harga listrik dengan perusahaan pembangkit swasta PLTU (berbahan bakar batu bara) skala besar. Peninjauan ini berlaku bagi pembangkit yang belum memasuki masa konstruksi dan mendapat Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dari Kementerian Keuangan.

Dalam upaya perlindungan lingkungan hidup, hal ini perlu dicermati agar perlindungan lingkungan tidak dikompromikan demi mencapai harga listrik yang murah. Pembangkit listrik batu bara  menghasilkan bahan pencemaran yang tinggi ke udara dan juga menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa bagi warga sekitar pembangkit. Kebijakan di dunia penerbangan yang tidak mengompromikan keselamatan dalam pengusahaan tiket murah, selayaknya jadi model bagi pengelolaan listrik batu bara dalam perlindungan lingkungan hidup.

Penerapan alat kontrol polusi udara di pembangkit listrik batu bara membutuhkan biaya cukup besar, dapat mencapai 25% dari biaya keseluruhan pembangunan pembangkit. Namun perlindungan lingkungan perlu dilakukan khususnya menjaga kesehatan kesehatan warga yang berpotensi terdampak. Penelitian yang dilakukan oleh Perkumpulan Aksi Ekologi dan  Emansipasi Rakyat (AEER, 2017)  di daerah dekat sebuah pembangkit listrik batu bara menemukan sebanyak 21 anak-anak mengalami sakit paru berupa bintik paru (lung spot) berdasarkan foto sinar X. Pada tahun 2012, sebanyak 60.000 jiwa di Indonesia meninggal prematur karena pencemaran udara luar ruangan (Laporan IEA 2016). Jumlah ini berpotensi meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pembangkit listrik batu bara dari Fast Track Program  tahap 1 dan tahap  2 pada Pemerintahan SBY serta terbaru Program Kelistrikan 35.000 MW Pemerintahan Jokowi yang didominasi oleh batu bara.

 Standar perlindungan udara yang rendah dibanding negara negara kawasan

Dalam tahun terakhir, Indonesia memiliki standar emisi udara PLTU Batubara yang longgar hingga tujuh kali lipat dibanding beberapa negara pengguna batu bara seperti China dan India (Center for Science and Environment, 2016). Juga jauh lebih longgar dibandingkan dengan Jepang, negara maju yang terbanyak mendanai dan mengoperasikan pembangkit listrik batu bara di Indonesia.

Perlu dilakukan perbaikan pengaturan emisi polusi pembangkit listrik batu bara.  Saat ini diatur lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Listrik Termal. Pemerintah telah mengkomunikasikan ke organisasi masyarakat sipil sedang melakukan proses revisi pengaturan emisi ini. Revisi peraturan ini diharapkan maju terus tidak terkendala oleh peninjauan harga listrik dari batu bara.

Motif mencari biaya produksi lebih murah  lewat jalan melonggarkan upaya perlindungan hidup, sebagaimana telah terjadi di bidang pertambangan dengan pengeluaran ijin pembuangan limbah tambang ke laut dan daerah aliran sungai, hendaknya tidak dilakukan di bidang energi. Disamping pengetatan  baku mutu emisi juga perlu memperluas pengaturan jenis polusi, yakni merkuri,  karbon dioksida dan ozon permukaan tanah yang belum diatur oleh baku mutu emisi saat ini. Ozon permukaan tanah diperkirakan berkontribusi besar bagi angka kematian dini yang secara total 24.400 jiwa akibat pencemaran udara dari pembangkit listrik batu bara pada tahun 2030 (Jurnal Environmental Science and Technology, 2017).

Pengetatan baku mutu emisi udara akan berdampak pada peningkatan jumlah penangkapan limbah padat (gipsum) yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3).   Banyak pembangkit listrik batu bara tidak memiliki perizinan dan  pengelolaan baik atas B3 dari sisa pembakaran. Karenanya, pengetatan aturan emisi perlu sejalan dengan pembenahan aturan dan pengawasan pengelolaan limbah B3 di pembangkit listrik batu bara.

Pemantauan dan Keterbukaan Informasi

Praktik penghematan biaya operasi pembangkit listrik dengan mengabaikan pengelolaan lingkungan diungkapkan oleh laporan Centre for Science and Environment (CSE 2016) di India. Mencegah agar hal ini tidak terjadi di Indonesia, maka keterbukaan informasi pemantauan lingkungan perlu diperbaiki. Data pemantauan berkelanjutan atas emisi PLTU Batubara serta neraca limbah B3 yang membahayakan bagi kesehatan publik sebaiknya dikategorikan sebagai informasi yang bisa diakses publik sehingga pemantauan dapat dilakukan.

Sebanyak 210.800 Warga Indonesia Meninggal Per Tahun Karena Pencemaran Udara. Segera Beralih ke Energi Bersih

Lembaga kesehatan dunia WHO telah mengeluarkan laporan World Health Statistic 2017.  Dalam laporan tersebut, WHO menyebutkan, secara total kematian akibat pencemaran udara adalah 6.7 juta kematian pada tahun 2012. Ini merupakan 11.6% dari kematian global. Dari jumlah ini, sebanyak 4.3 juta adalah mati karena pencemaran udara dalam rumah. Dan sebanyak 3 juta mati karena pencemaran di luar rumah.

Untuk Indonesia, tercatat angka kematian karena pencemaran udara 85 dari 100.000 penduduk pada tahun 2012. Dengan begitu, terdapat 210.800 kematian seluruh Indonesia pada tahun tersebut akibat pencemaran udara.

Dari total 210.800 kematian ini, 165.000 akibat pencemaran udara dalam rumah. Dalam kategori ini, Indonesia berada pada urutan nomor 3 setelah China dan India mencatat kematian terbanyak. Selebihnya, yakni 45.800 meninggal karena pencemaran udara di luar rumah.

Jumlah kematian ini sangat memprihatinkan. Dan berpotensi besar bertambah jika pemerintah tidak mengurangi sumber penyebabnya.

Sumber penyebab pencemaran udara dalam rumah tangga umumnya karena penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar. Dengan begitu, pemerintah perlu memperkenalkan energi yang lebih bersih, khususnya di daerah daerah yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Sementara itu, sumber pencemaran udara di luar rumah terutama adalah kendaraan bermotor dan pembangkit listrik batubara.

Pius Ginting, aktivis AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) menyatakan untuk menyelamatkan nyawa rakyat dari kematian karena pencemaran udara, kebijakan energi pemerintahan Jokowi yang menempatkan batubara sebagai pembangkit listrik yang kian dominan setiap tahun, yakni dari 53% pada tahun 2014 naik menjadi 56% pada tahun 2015, perlu diubah dengan segera menempatkan energi terbarukan sebagai sumber energi utama. Biaya listrik energi terbarukan kini lebih murah dari energi fosil di beberapa negara dan aman bagi kesehatan warga.