oleh a33RadM | Des 24, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Transisi Mineral & Transportasi Publik
Jakarta, Palu, 24 Desember 2023
SIARAN PERS Perkumpulan AEER, Jatam Sulawesi Tengah
Evaluasi dan Perbaikan Keselamatan Pekerja Nikel Harus Jadi Implementasi Kesepakatan Iklim Paris
Pada hari Kamis, 22/13/2022, dua orang karyawati operator alat berat di tambang nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali Utara, meninggal dunia. Penyebab kematian mereka merupakan insiden kebakaran yang diakibatkan oleh ledakan tungku di smelter dua milik PT GNI. Ledakan yang diduga diakibatkan oleh kelalaian kerja tersebut mengakibatkan kedua korban terjebak api dan pada akhirnya meninggal dunia. Menyedihkannya lagi, kecelakaan kerja seperti ini bukanlah yang pertama terjadi di PT GNI. Pada bulan Juli lalu, seorang karyawan PT GNI dikabarkan tewas akibat terjatuh ke dalam pembuangan slek yang panas. Seminggu sebelumnya, seorang karyawan juga dikabarkan tewas akibat kecelakaan kerja.
Kondisi yang memprihatinkan ini mendapatkan kecaman dari berbagai gerakan masyarakat serta perhatian dari beberapa pihak. DPRD Morowali Utara, Muhammad Safri, menilai bahwa kecelakaan yang terjadi Kamis lalu harus diinvestigasi serta perusahaan wajib untuk bertanggung jawab penuh atas kejadian tersebut. Ia juga menyatakan bahwa perusahaan seperti PT GNI seharusnya berkewajiban mematuhi aturan yang telah ditetapkan, terutama terkait standarisasi keamanan, mengingat bahwa kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kalinya. Pada bulan September lalu, buruh PT GNI yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja. Salah satu tuntutan yang diberikan oleh para buruh adalah agar PT GNI memberikan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, serta penghapusan denda ganti rugi yang dibebankan ke setiap pekerja apabila mengalami kecelakaan kerja. Tuntutan tersebut menunjukkan betapa buruknya keamanan kerja yang ada dalam PT GNI. hilangnya nyawa para buruh seharusnya bisa dicegah.
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, Pius Ginting, menyatakan produksi nikel yang saat ini menjadi mineral andalan teknologi rendah karbon mengatasi sebagai solusi mengatasi perubahan iklim jangan menumbalkan buruh dan lingkungan hidup. Buruh yang bekerja di sektor nikel harusnya menjadi kelompok yang diuntungkan dengan peralihan dengan teknologi rendah karbon. Namun kenyataannya kecelakaan fatal di sektor nikel telah terjadi berulang. Kesejahteraan dan perlindungan buruh, kerja yang layak (decent work) seharusnya menjadi bagian dalam skema just transition energy program (JETP). Komitmen pendaaan sebesar 20 milyar dollar yang telah dibuat Pemerintah dengan mitra global harus ada dialokasikan untuk evaluasi dan peningkatan keselamatan pekerja di sektor mineral transisi. Transisi Berkeadilan dalam sektor tenaga kerja dan penciptaan kerja yang layak dan berkualitas adalah bagian dari Kesepakatan Paris tahun 2015 yang disetujui Pemerintah dan perlu segera dilaksanaan secara konkrit di sektor nikel.
Menurut data Kementerian ESDM, pada tahun 2021, terdapat 104 kecelakaan tambang di Indonesia. Dari 104 kecelakaan tersebut, 11 mengakibatkan kematian. Tak hanya di pertambangan nikel, tanggal 9 Desember 2022 lalu, tambang batubara milik PT NAI di Sumatera Barat mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan 4 orang luka-luka. Angka tersebut menunjukkan betapa pentingnya dilakukan perbaikan dari segi keselamatan kerja, dan pentingnya perusahaan diminta bertanggungjawab atas kejadian-kejadian seperti ini.
Nikel, serta tambang nikel, mendapatkan perhatian lebih dalam skema just transition dewasa ini. Tren penggunaan kendaraan listrik meroket sebagai respon terhadap pengurangan emisi dari kendaraan bermotor. Konsumsi nikel, yang digunakan sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik ikut melambung. Menurut penelitian Wood Mackenzie (2020), konsumsi nikel baterai di tahun 2019 mencapai 162 kiloton. Konsumsi ini diperkirakan meningkat hingga 265 kiloton pada tahun 2025. Sebagai negara dengan salah satu cadangan terbesar nikel di dunia, Indonesia memainkan peran sentral agar nikel tidak justru menjadi sumber bencana bagi lingkungan atau masyarakat. Oleh karena itu, semakin penting agar kesejahteraan para buruh, khususnya di tambang-tambang nikel, tidak disepelekan.
Selain itu Koordinator JATAM SULTENG Mendesak Pemerintah Pusat dan daerah sesuai dengan kewenangannya untuk Mengaudit SISTEM MANAJEMEN K3 di wilayah kawasan industri milik PT. GNI, Pasca insiden meninggalnya dua pekerja di wilayah kawasan industri tersebut. Karena kejadian kecelakaan kerja yang terjadi bukan hanya terjadi kali ini, sebelumnya salah satu pekerja operator tertimbun longsor dan meninggal dunia, juga terjadi di wilayah kawasan Industri PT. GNI. hal ini menjadi hal yang sangat serius untuk segera dilakukan AUDIT SISTEM MANAJEMEN K3 di Lingkungan Kawasann Industri PT. GNI, untuk memberikan jaminan Keselamatan Para Pekerja.
Taufik juga menambahkan selain melakukan audit Sistem Keselamatan Kerja, hal yang penting juga untuk dilakukan oleh Pemerintah adalah melakukan pengawasan keamanan kerja para buruh yang bekerja di wilayah kawasan industri, sesuai dengan penjelasan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja. Agar kecelakan-kecelakaan kerja yang menimpa parah buruh tidak lagi terjadi. (selesai)
Narahubung:
Moh Taufik, Direktur Jatam Sulawesi Tengah, jatamsulteng52 @gmail.com
Pius Ginting, Koordinator AEER, pginting@aeer.info
oleh a33RadM | Nov 16, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Batubara & Keragaman Hayati
Siaran pers ini telah terbit di kompas.com,11 November 2022, 17:59 WIB
Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai capaian ASEAN dalam penyelamatan krisis iklim masih kurang.
Peneliti keanekaragaman hayati dan iklim AEER, Ilham Setiawan Noer, pada Kamis (10/11/2022), mengatakan ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan menghambat target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati global.
Padahal ASEAN merupakan kawasan penting perlindungan keanekaragaman hayati global karena mencakup 20 persen spesies flora dan fauna global, 30 persen terumbu karang global, dan 35 persen hutan mangrove global.
Di samping itu, empat negara di Asia Tenggara termasuk di antara 25 hotspot keanekaragaman hayati global, dan tiga negara termasuk di antara 17 negara megabiodiversitas di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Semua negara anggota ASEAN juga terdaftar sebagai pihak yang meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD).
Berdasarkan laporan ASEAN Biodiversity Outlook 2 yang dikeluarkan oleh ASEAN Centre for Biodiversity (ACB), disebutkan bahwa terdapat tiga level pencapaian target, yaitu warna hijau yang berarti target dicapai oleh sebagian besar negara ASEAN, warna kuning berarti setengah negara ASEAN, dan warna merah berarti kurang dari setengah negara ASEAN. Hasilnya, dari 20 target Aichi, hanya satu target yang berwarna hijau, 12 target berwarna kuning, dan 7 target berwarna merah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di regional ASEAN belum maksimal.
Laporan ASEAN Biodiversity dikeluarkan sebagai hasil pemantauan terhadap perkembangan pencapaian penyelamatan keanekaragaman hayati 2011-2020 (Aichi Biodiversity Target).
Selain itu, laporan “The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040” yang diterbitkan oleh ASEAN Centre for Energy (ACE) menyatakan bahwa dalam skenario Business as Usual, total pasokan energi primer ASEAN akan terus tumbuh sebesar 40 persen pada 2017-2025 dan sebagian besar didominasi oleh bahan bakar fosil. Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer. Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer.
Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Tujuan komitmen ini adalah mencegah perubahan iklim yang semakin parah yang dapat memperburuk kekeringan, kelaparan, dan konflik di seluruh dunia.
“Bagaimana kaitan antara target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati dengan energi fosil? Tingginya ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan memicu peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga akan menghambat pencapaian batas kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius. Kondisi ini akan memperparah perubahan iklim global,” ujar Ilham.
“Energi fosil khususnya batubara akan mengancam keanekaragaman hayati dalam bentuk degradasi dan deforestasi habitat, fragmentasi habitat, pencemaran udara dan air, dan peningkatan suhu bumi,” tambah dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2022).
Ilham turut menyatakan bahwa energi fosil di Indonesia saat ini didominasi oleh batubara.
Berdasarkan kajian yang dilakukan AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan”, dikatakan bahwa dari 35 perusahaan tambang batubara, sebanyak 23 perusahaan tergolong kategori ancaman tinggi, 10 perusahaan tergolong kategori ancaman sedang, dan 2 perusahaan tergolong kategori ancaman rendah.
Saat ini, Asia Tenggara masih menjadi pasar yang menjanjikan untuk komoditas batubara, di saat negara maju sudah mulai meninggalkan batubara dan mengkampanyekan beralih ke energi terbarukan.
Permintaan impor batubara di Asia Tenggara diprediksi akan meningkat menjadi 250 juta ton pada 2035 dibanding tahun 2020 sebesar 150 juta ton.
Tiga negara yang menjadi konsumen terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Konsumsi batubara di ketiga wilayah ini telah meningkat 150 persen selama 20 tahun terakhir.
Lebih lanjut, Ilham menjelaskan, saat ini negara-negara ASEAN belum mampu mengimplementasikan target dengan baik untuk mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Menurut dia, dari 10 negara ASEAN, sebanyak tiga negara tergolong kategori critically insufficient atau sangat tidak memadai dan sangat kritis, yaitu Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Terdapat satu negara yang tergolong kategori highly insufficient atau sangat tidak memadai, yaitu Indonesia.
Sementara itu, enam negara lainnya belum ada penilaian dari Climate Action Tracker, yaitu Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Menguatkan komitmen
Ilham berpendapat, negara-negara ASEAN perlu menguatkan kembali komitmennya terkait penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati.
Dia menambahkan, laporan The Land Gap Report 2022 yang dikeluarkan oleh landgap.org menyatakan bahwa penanaman pohon, penghijauan, dan reboisasi saja tidak cukup untuk menurunkan emisi gas rumah kaca global.
Saat ini diperlukan kontribusi penurunan emisi dari berbagai sektor, salah satunya sektor energi berbasis bahan bakar fosil.
“Sebagai salah satu negara dengan produksi dan konsumsi energi fosil terbesar di dunia, Indonesia perlu menjadi pionir di Asia Tenggara dalam penghentian ketergantungan terhadap energi fosil dan harus segera beralih ke energi terbarukan,” jelas dia.
Ilham menyebut, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen serius untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celcius dengan cara menurunkan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia menjadi 10 persen pada tahun 2030 dan dihentikan sepenuhnya pada tahun 2040.
oleh a33RadM | Nov 11, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Energi Demokrasi
Perkumpulan AEER, XR Indonesia, KSBSI, dan KPBI
Jakarta, 11 November 2022
Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.
Demokrasi energi lahir dari upaya aktivis lingkungan menghargai otonomi lokal atas sumber daya dan operasi energi, pengambilan keputusan yang demokratis, menolak berbagai bentuk ketidakadilan lingkungan, dan mempromosikan transisi yang adil. Untuk bekerja menuju demokrasi energi—transisi energi sosioteknik yang diresapi dengan praktik dan cita-cita demokrasi—memerlukan para aktivis lingkungan untuk terlibat dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru partisipasi, hubungan kekuasaan, praktik keadilan, dan konfigurasi teknologi energi.
“Berbagai macam bencana ekologis akibat krisis iklim kian melanda di berbagai wilayah menjelang KTT G20 di Bali harus menjadi peringatan, apalagi para pemimpin G20 untuk menghentikan solusi palsu terkait krisis iklim. Para pemimpin negara G20 harus serius melakukan transisi energi dan berkeadilan.”
“Penggunaan energi fosil pembangunan yang ekstraktif sebagai penyebab krisis iklim harus segera dihentikan jika bencana akibat krisis iklim ini tidak semakin meluas. Dalam KTT G20 yang akan berlangsung di tanggal 15-16 November di Bali, jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya.”
“G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.” Tambah Ary Jr dari Extinction Rebellion Indonesia
Bauran energi batu bara di Indonesia juga tidak berhenti menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, jumlah bauran energi batubara di Indonesia adalah 68,7%, naik dari 54,7% pada 2015. Sementara itu, jumlah bauran energi terbarukan masih berjumlah 12,8% pada 2022, turun dari 13% pada 2015.
Komitmen serius pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim diperlukan untuk menangani permasalahan tersebut. Penggunaan energi terbarukan tidak berkembang cukup pesat untuk mencapai target bauran energi dan memperlambat peningkatan penggunaan bahan bakar fosil. Transisi energi yang dilakukan saat ini masih belum demokratis memihak kepada masyarakat dan pekerja. Konsep demokrasi energi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ketidakadilan energi secara holistik dan berkelanjutan. Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik disampaikan oleh Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Menurutnya, kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”. Beliau juga menyoroti soal komitmen pendanaan pada transisi energi di Indonesia. “Indonesia perlu meninggalkan energi fosil dan perlu fokus dalam pelaksanaan komitmen pendanaan internasional. Selain itu, pelaksanaan pajak keuntungan lebih bagi perusahaan yang bergerak di bidang energi fosil juga perlu dijalankan.” Tambahnya.
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga setuju akan hal tersebut. Tanggung jawab pembayaran pajak bagi penyumbang emisi terbesar juga menjadi salah satu solusi dalam mewujudkan keadilan iklim. “Transisi yang Adil dari energi fosil menuju energi bersih dan terbarukan perlu direncanakan dengan matang dan bertahap, seperti menegakkan keadilan iklim, baik antar negara maupun antar generasi saat ini dan generasi mendatang. Selain itu, perlu melibatkan pekerja dan penduduk lokal yg akan terdampak atas kebijakan transisi; meliputi; Kompensasi dan kebutuhan skill (upskilling dan reskilling) untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang baru dari transisi energi.”
Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan. Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi sistem energi saat ini menganggap bahwa energi sebagai komoditas berharga untuk menghasilkan keuntungan. Michael dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menegaskan, “Salah satu bentuk implementasi dari demokrasi energi adalah menghentikan proses liberalisasi sektor ketenagalistrikan, sebab menyerahkan pengelolaan sektor energi ke pihak swasta (privatisasi) dapat menyebabkan kerugian bagi negara dan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah melalui kementerian BUMN sedang berupaya membentuk Holding dan Subholding di PLN yg mengarah pada proses liberalisasi (swastanisasi) sektor ketenagalistrikan.”
Jika transisi energi tidak dilakukan secara bijaksana, maka isu transisi energi hanya akan menjadi solusi palsu yang menyebabkan permasalahan baru yang lebih besar. Oleh karenanya, konsep demokrasi energi perlu dimasukkan ke dalam diskusi transisi energi berkeadilan. Terdapat lima prinsip dasar demokrasi energi yang holistik serta berkeadilan untuk masyarakat dan lingkungan, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat.
Demokrasi energi penting untuk dibicarakan di Indonesia karena transisi energi bukan hanya berfokus pada substitusi energi fosil ke energi terbarukan, tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan secara lebih berkeadilan.
Narahubung:
Ary Jr (XR Indonesia) +62 877-2863-7717 – Kunny Izza (AEER) +62 852-2633-4626
oleh Editor Aeer | Sep 27, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Energi Demokrasi
Siaran Pers
Perkumpulan AEER dan 350 Indonesia
Denpasar, 25 September 2022
G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.
Ketut Mangku Wijana, seorang warga sekitar PLTU Celukan Bawang, bercerita bahwa seumur hidupnya pohon kelapanya tidak pernah meranggas. Tidak seperti beberapa tahun terakhir setelah PLTU dibangun.Penyebab rusaknya pohon-pohon kelapa di kebunnya bukan karena hama karena tidak ada pohon yang terkena hama. Di kebunnya yang lain, yang lokasinya lebih jauh dari PLTU Celukan Bawang, pohon kelapanya baik-baik saja. “Dampak proyek ini sangat jelas buruk baik saat ini maupun dan dalam jangka panjang. Dampak ke tanaman pangan, pohon kelapa, jambu mete dan tanaman yang lain.”
Dampak buruknya tidak hanya itu, limbah B3 dari PLTU Celukan Bawang ternyata dibuang di pinggir jalan di daerah Sumberkima, Buleleng. Dijadikan material urug untuk bangunan. “Ini yang kita tidak tahu, apakah masyarakat tidak tahu bahwa itu limbah B3 dan masyarakat meminta material urugan atau itu sengaja ditawarkan kepada masyarakat.”
Di Bali bagian selatan, rencana pembangunan terminal LNG sebagai bagian dari transisi energi, juga berpotensi merusak lingkungan hidup. Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali, menyampaikan, “pembangunan terminal LNG ini akan dilakukan dengan cara mengorbankan 14,5 hektar mangrove karena aktivitas dredging yang akan menyebabkan kerusakan pada terumbu karang yang berfungsi sebagai pelindung pesisir sanur”.
Khamid Istakhori, dari Global Organizing Academy, Building and Wood Workers International Building menyatakan, pembangunan PLTU tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga promosi bahwa PLTU dibangun untuk membuka lapangan pekerjaan besar, itu adalah ilusi kosong. “Serikat pekerja dan aktivis lingkungan sama-sama bagian dari masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan PLTU ini. Sehingga harus ada solusi yang adil dalam transisi ini harus dipikirkan solusinya berkeadilan untuk semua pihak termasuk para pekerja.” ujarnya.
Sementara itu, Sisilia Nurmala Dewi, Asia Managing Director 350.org menyatakan perluasan energi fosil adalah problem yang terbesar yang dihadapi generasi ini, dan saat ini juga sedang didorong transisinya juga melalui Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP adalah pendanaan dari negara maju untuk transisi energi dan kesempatan pertama diberikan kepada Afrika Selatan, secara khusus perusahaan penyedia listrik publik di sana yaitu ESKOM. Skema yang sama digadang-gadang akan diberlakukan juga untuk Indonesia.
Menurut Sisilia, PLN sebagai perusahaan yang kemungkinan besar akan menerima pendanaan tersebut perlu banyak berbenah. “ESKOM sudah punya target sampai nol emisi pada 2050 juga pipeline transisi energi. Sedangkan PLN tidak punya pipeline transisi energi dan target nol emisinya lebih jauh, 2060. PLN tidak punya target yang kuat, spesifik dan serius untuk melakukan transisi energi di indonesia.”
Menurut Kunny Izza dari Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan, oleh karena itu butuh demokrasi energi. “Ada lima prinsip dasar demokrasi energi, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat.”
Narahubung:
Suriadi Darmoko (350 Indonesia) 0857-3743-9019
Kunny Izza (AEER) 0852-2633-4626
oleh Editor Aeer | Sep 27, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Energi Demokrasi
Siaran Pers
Perkumpulan AEER dan 350 Indonesia
Depansar, 24 September 2022
“Pembahasan transisi energi di G20, dipastikan gagal,” ujar Suriadi Darmoko, Finance Campaigner 350 Indonesia, “Pasalnya, Pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk isu transisi energi tidak mencapai Komunike. Rangkaian panjang pertemuan yang hanya menghasilkan chair’s summary dan kesepakatan Bali COMPACT yang pelaksanaan bersifat sukarela. Atas hal tersebut, menurut saya upaya untuk melakukan transisi energi sebagai upaya untuk memenuhi kesepakatan paris, itu gagal. Transisi Energi di G20, Gagal”
Salah satu Isu prioritas pada G20 adalah transisi energi berkelanjutan dengan kelompok kerja dibawahnya energy transition, environment and climate sustainability. Isu tersebut mengarah kepada tujuan bersama, yakni untuk mencapai Kesepakatan Paris, membatasi kenaikan suhu global sampai di angka 1,5º Celsius tingkat pra industri. Pada isu tersebut telah dilaksanakan sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) yang puncaknya gagal mencapai komunike atau pernyataan komitmen bersama.
Proses panjang dalam kelompok kerja energy transition, environment and climate sustainability hanya melahirkan chair’s summary dan Bali COMPACT yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Jika hal tersebut disepakati pada KTT G20, tidak ada tanggung jawab apapun dari negara-negara G20 menjalankan kesepakatan tersebut.
Padahal, lanjut Suriadi Darmoko, 75 persen permintaan energi dunia berasal dari negara G20. “Artinya krisis iklim yang terjadi saat ini terjadi karena ulah negara-negara G20. Meski sebagai sumber dari krisis iklim,” ujarnya, “Urgensi menangani krisis iklim seperti tidak menjadi prioritas dalam G20’.
Kesukarelaan negara-negara G20 ini, lanjutnya, hanya menjauhkan kita untuk mencapai tujuan bersama yang tertuang dalam Kesepakatan Paris. “Negara G7 dan juga G20 tidak ada kemauan politik untuk transisi ke 100 persen energi terbarukan, Justru yang menguat adalah narasi energi bersih yang telah ditunggangi oleh solusi-solusi palsu dari energi fosil” ujarnya.
Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik mendapatkan kritik dari Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). menurutnya , kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”
Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. “Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.”
Saat ini, kebijakan listrik contohnya, rencana umum pengadaan tenaga listrik (RUPTL) yang masih mengakomodir pendirian PLTU baru saat Indonesia hanya 8 tahun menuju puncak emisi tahun 2030. Pembangunan pembangkit energi berbasis fosil ini sangat sentralistik. “Akibat kebijakan energi yang tidak demokratis ini, persiapan transisi berkeadilan tidak terwujud, seperti persiapan alih lapangan kerja dari energi fosil, percepatan penyediaan energi terbarukan dalam cukup besar” ungkapnya.
Sementara kebijakan masih sentralistik dan bergantung penuh pada energi fossil, Bali, sebagai lokasi pertemuan G20, kerentanan Bali terhadap krisis iklim terus meningkat. Trend bencana hidrometeorologi terus meningkat. Menurut I Nyoman Gede Wiryajaya, Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah III, kedepan hujan akan lebih singkat dengan intensitas yang lebih tinggi.”
“Bali, suhu udaranya mengalami trend yang terus meningkat, trend musim hujan yang meningkat, juga kemarau yang akan menjadi lebih panjang ke depan. Sehingga, bencana akan semakin banyak terjadi”, ujarnya.
“Transisi energi yang molor, agenda transisi yang jalan mundur dan justru mewacanakan energi palsu itu sama dengan mereka sedang membiarkan Bali sebagai tempat pertemuan G20, semakin rentan dan semakin terancam krisis iklim.” pungkas Moko.
Kontak:
Narahubung:
Suriadi Darmoko (350 Indonesia) 0857-3743-9019
Kunny Izza (AEER) 0852-2633-4626
oleh Editor Aeer | Agu 30, 2022 | Siaran Pers, Siaran Pers Batubara & Keragaman Hayati
Pemerintah Indonesia kembali menyatakan komitmennya untuk mencapai penurunan emisi dan memitigasi perubahan iklim pada pertemuan yang diselenggarakan Asian Development Bank (ADB) di Jakarta pada 9 Agustus 2022.
Pertemuan tersebut membahas percepatan implementasi Energy Transition Mechanism (ETM), program ADB untuk mempercepat transisi energi terbarukan (EBT) di Indonesia dengan cara menetapkan pensiun dini pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara secara signifikan.
Program itu sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia mencapai target penurunan emisi, memberhentikan PLTU pada 2023, mempercepat penghentian operasional PLTU, dan meningkatkan penggunaan energi bersih.
Sebelumnya, ADB telah menyampaikan keterhubungan erat antara penyelamatan keanekaragaman hayati dengan mitigasi perubahan iklim.
Ingrid van Wees, Wakil Presiden ADB untuk Keuangan dan Manajemen Risiko menyatakan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati sebagai dampak perubahan iklim telah mengakibatkan risiko pada sektor finansial. Dia menyampaikan hal itu pada pertemuan COP15 di Kunming, China pada 15 Oktober 2021.
Karena itu, Ingrid mengajak semua lembaga keuangan untuk terlibat dalam inisiatif menyertakan keanekaragaman hayati di dalam penilaian risiko dan dampak pada portofolio.
ADB sendiri berperan dengan menjadi anggota Kelompok Studi Keanekaragaman Hayati (Jaringan Bank Sentral dan Pengawas Penghijauan Sistem Keuangan) dan pengamat Satgas Keterbukaan Informasi Keuangan Terkait Alam.
Karena itu, agenda penyelamatan keanekaragaman hayati menjadi sangat penting untuk juga menjadi pertimbangan penetapan pensiun dini pada PLTU dalam implementasi ETM.
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) melaporkan bahwa 70 persen daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60 persen lautan telah terdampak, dan lebih dari 80 persen lahan basah telah hilang.
Satu juta spesies juga sedang menghadapi kepunahan. Hal tersebut disampaikan pada pertemuan ke-4 CBD untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022.
Dampak PLTU pada keanekaragaman hayati
Indonesia, sebagai negara mega-biodiversitas perlu secepat mungkin beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan karena PLTU batu bara terbukti berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Polutan yang dihasilkan pada pembakaran bahan fosil merupakan faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam, dan perubahan iklim.
Perubahan iklim sangat erat kaitannya dengan terjadinya kepunahan masal pada keanekaragaman hayati secara cepat.
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) telah melakukan kajian mengenai dampak PLTU terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera dan Sulawesi. Kajian mencakup 53 unit PLTU di Pulau Sumatera dan 19 unit PLTU di Sulawesi.
Hasilnya, sebanyak 24 unit PLTU di Sumatera masuk pada kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 23 unit masuk pada kategori sedang, dan 6 unit masuk pada kategori rendah. Di Sulawesi, sebanyak 17 unit PLTU masuk pada kategori ancaman tinggi dan 2 unit masuk pada kategori ancaman sedang.
Sebagai contoh, PLTU yang ditemukan paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati di Sumatera adalah PLTU Sumsel 8 dan di Sulawesi adalah PLTU Sulut 3. Kedua PLTU tersebut memiliki skor masing-masing sebesar -20 sehingga digolongkan sebagai kategori ancaman tinggi.
Nantinya, implementasi pensiun dini ETM baiknya dikenakan pada PLTU yang memiliki skor kategori ancaman tinggi dan baru beroperasi kurang dari dua tahun agar berjalan optimal dengan penetapan pensiun dini PLTU yang juga direncanakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kriteria yang digunakan dalam penilaian dampak tersebut adalah keberadaan spesies kategori rentan, terancam punah, dan sangat terancam punah, spesies dilindungi, endemik, bernilai ekonomi dan berbudaya tinggi. Selain itu, kriteria lainnya adalah keberadaan ekosistem rentan dan dilindungi.
Beberapa spesies terancam punah ditemukan di sekitar area PLTU di Sumatera, antara lain gajah sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera. Sementara itu, beberapa spesies di sekitar area PLTU di Pulau Sulawesi antara lain burung maleo, yaki, dan anoa.
Aktivitas PLTU juga mengancam keberadaan ekosistem rentan seperti mangrove dan terumbu karang.
Penyelamatan keanekaragaman hayati tidak terpisahkan dari upaya pencapaian target penurunan emisi dan mitigasi perubahan iklim. Karena itu, implementasi ETM, program ADB untuk penerapan pensiun dini pada PLTU batu bara di Indonesia, perlu didukung dan tetap diawasi agar implementasi transisi ke energi terbarukan berjalan secara optimal dan menyelamatkan keanekaragaman hayati dan iklim.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/30/090711965/penyelamatan-keanekaragaman-hayati-terkait-dengan-pensiun-dini-pltu?page=all#page2