Transisi Energi Indonesia dari Segi Pendanaan dan Lingkungan

Transisi Energi Indonesia dari Segi Pendanaan dan Lingkungan

Tanggal 8 November 2022

Mekanisme Transisi Energi dan Pensiun Dini PLTU

 

Permasalahan krisis iklim global semakin lama semakin memburuk jika tidak ada upaya konkret dalam mengatasinya. Sejak Paris Agreement ditandatangani pada tahun 2015, sebanyak hampir 200 negara berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim dan mengejar upaya untuk memperkuat mitigasi iklim, adaptasi, dan pendanaan iklim. Paris Agreement mendorong negara yang meratifikasi perjanjian tersebut untuk dapat mencapai puncak global emisi gas rumah kaca sesegera mungkin dan mengakui bahwa puncak penurunan emisi akan memakan waktu lebih lama bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang telah berkomitmen dan memperbarui target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 23 September 2022 dengan meningkatkan target penurunan emisi atas usaha sendiri dari 29% menjadi 31,89% dalam NDC terbaru. Sementara itu, target penurunan emisi dengan bantuan internasional juga mengalami peningkatan dari 41% menjadi 43,20%.

Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, proyeksi total emisi gas rumah kaca di Indonesia dari sektor energi pada tahun 2030 skenario Business as Usual sebesar 433 juta ton CO2. Hasil dari penggunaan energi batubara menjadi penyumbang emisi sebanyak 298,9 juta ton CO2 dari total emisi 335 juta ton CO2 atau setara 89% di tahun 2030 dengan skenario low carbon. Maka, transisi dari energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta pengembangan transportasi publik berbasis energi terbarukan diperlukan sebagai upaya yang harus ditempuh Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Salah satu upaya transisi energi dari energi fosil ke EBT adalah Energy Transition Mechanism (ETM). Program ini merupakan sebuah komitmen dari Asian Development Bank (ADB) terhadap aksi penyelamatan iklim di kawasan Asia Pasifik. Indonesia menjadi satu dari beberapa negara yang bekerjasama dalam aksi iklim menggunakan ETM berupa pensiun dini PLTU dan juga transisi energi yang lebih bersih. ETM partnership sendiri diluncurkan pada 03 November 2021 di Glasgow bersamaan dengan agenda Conference of the Parties (COP 26 Glasgow). Saat ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) merencanakan penghentian secara bertahap operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara untuk mencapai Net Zero Emission 2060.

Terdapat tiga opsi skema pendanaan pensiun dini PLTU yang dipaparkan dalam presentasi pengenalan ETM, yaitu

  1. model akuisisi berfokus pada pengakuisisian PLTU dalam hal modal dan kepemilikan,
  2. model sintetis berfokus pada pemberian investasi langsung kepada pemilik PLTU untuk dikelola oleh pemilik dalam memensiunkan PLTU miliknya, dan
  3. model portofolio berfokus pada pemberian dana kepada pihak ketiga (financers) dalam pengelolaan dana untuk pensiun dini. Dikutip dari rencana Climate Investment Fund-Acceleration Coal Transition (CIF-ACT) ADB bersama dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana menerapkan pensiun dini pada 9 PLTU sebelum tahun 2030. Namun, kegiatan pensiun dini tersebut dilakukan pada PLTU yang sebagian besar sudah beroperasi lama (lebih dari 10 tahun) sehingga penerapan pensiun dini tidak akan optimal.

Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU seharusnya dilakukan pada PLTU baru yang beroperasi selama kurang dari dua tahun, bukan PLTU yang sudah lama beroperasi. Sewajarnya, diluar program ETM, pemberhentian operasi sudah harus dilakukan pada PLTU yang dinilai “cukup tua” karena kinerja kontrol pencemaran lingkungan yang sudah menurun, tidak mutakhir, dan sudah memiliki keuntungan nilai investasi. Disamping itu, AEER juga merekomendasikan proyek pensiun dini perlu diterapkan pada PLTU yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan PLTU yang bahan bakunya bersumber dari pertambangan batubara dengan tingkat risiko tinggi terhadap keanekaragaman hayati.

Berdasarkan kajian AEER, pertambangan batubara milik PT Berau Coal yang menjadi salah satu pemasok batubara untuk PLTU Suralaya adalah salah satu pertambangan yang termasuk kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati. PLTU Suralaya ini termasuk dalam datar 9 PLTU yang akan pensiun dini sebelum 2030. Hasil dari kajian AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan” tersebut menunjukkan bahwa, sebanyak 23 lokasi pertambangan tergolong kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 10 pertambangan masuk dalam kategori ancaman sedang, dan 2 pertambangan tergolong kategori ancaman rendah terhadap keanekaragaman hayati dari 35 pertambangan batubara yang menjadi objek kajian di Kalimantan. Laporan ini dapat menjadi rujukan untuk menentukan PLTU mana yang sumber batubaranya berasal dari pertambangan batubara yang berada di area sensitif terhadap keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2021, AEER juga telah melakukan studi mengenai dampak PLTU dan pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera. Pada laporan tersebut menyatakan bahwa dari 28 PLTU yang dikaji, sebanyak 12 PLTU masuk dalam kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 15 PLTU tergolong kategori ancaman sedang, dan 1 PLTU tergolong kategori ancaman rendah. Berdasarkan kajian tersebut, AEER merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU di Pulau Sumatera dilakukan pada PLTU Sumsel-8 karena memiliki ancaman paling tinggi dan baru akan memulai operasi di tahun 2022. Selain itu, PLTU yang paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati adalah PLTU Sulut 3 dan PLTU ini baru beroperasi tahun 2021 sehingga lebih tepat direkomendasikan untuk diterapkan pensiun dini.

 

Net Zero Emission dan Bauran Energi Baru Terbarukan

 

Hingga tahun 2022, mekanisme transisi energi di Indonesia masih berfokus pada pensiun dini PLTU, dibandingkan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pengembangan EBT masih belum memiliki skema pendanaan dan program yang jelas, dan baru akan mulai direncanakan pengembangannya berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2022.

Analisis Peta Jalan Net Zero Emission (NZE) mengemukakan bahwa target net zero Indonesia dapat dicapai melalui penerapan sumber daya energi terbarukan, efisiensi energi, elektrifikasi, dan interkoneksi jaringan. Efisiensi energi dan elektrifikasi adalah prioritas utama. Indonesia akan menambah sejumlah besar peralatan, mobil, mesin dan infrastruktur dekade ini. Bauran energi baru dan terbarukan menjadi salah satu pijakan dalam proses transisi energi.

Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan pembangkitan tenaga listrik pada akhir tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2050 sebesar 31%. Berdasarkan laporan kajian “Indonesia Energy Transition Outlook 2022” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), bauran energi terbarukan hingga akhir 2021 hanya mencapai 11,2%. IESR menyatakan bahwa perkembangan energi terbarukan masih seperlima dari kapasitas yang seharusnya ditambahkan setiap tahun untuk mencapai target 23% pada akhir tahun 2025.

Dalam Peta Jalan NZE menyatakan jalan menuju emisi nol membutuhkan modal yang lebih intensif, artinya proses transisi energi menuju energi terbarukan membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Pada tahun 2030, investasi di skenario yang dijanjikan memberikan informasi bahwa sekitar USD 8 miliar lebih tinggi per tahun daripada skenario business as usual (BAU), dengan investasi di pembangkit dan jaringan energi terbarukan (USD 25 miliar) lebih banyak daripada investasi saat ini di seluruh sektor energi. Investasi dalam efisiensi energi naik menjadi USD 10 miliar per tahun pada tahun 2030, peningkatan lima kali lipat pada hari ini. Memobilisasi tingkat investasi ini akan membutuhkan reformasi kebijakan yang signifikan serta dukungan internasional.

Berdasarkan Siaran Pers Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 September 2022, Rida Mulyana, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM menyatakan bahwa Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga 1 triliun Dollar Amerika Serikat hingga tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan dari pihak lain dalam pendanaan menuju percepatan transisi energi, yaitu pendanaan dari negara maju seperti negara G7 melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), dukungan bilateral Indonesia-Jerman melalui skema Green Infrastructure Initiative (GII), lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB).

 

Pendanaan Transisi Energi

 

Pada laporan Carbon Zero Analytics (CZA) 2022 menyampaikan bahwa Afrika Selatan menjadi negara contoh (pilot project) pengembangan pendanaan transisi energi dimana beberapa negara maju berkomitmen untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi rendah karbon di Afrika Selatan. Just Energy Transition Partnership (JETP) ini melihat Prancis, Jerman, Inggris, AS, dan UE (Kelompok Mitra Internasional, atau IPG) berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar USD 8,5 miliar selama tiga hingga lima tahun untuk mendukung rencana iklim nasional Afrika Selatan. Pembiayaan yang diberikan bisa berupa hibah, pinjaman lunak (dengan suku bunga lebih rendah daripada yang tersedia dari bank komersial), melalui pembiayaan swasta, jaminan atau dukungan teknis. Program JETP bertujuan untuk menghapus batubara secara bertahap dan mempercepat penyebaran energi terbarukan di sistem kelistrikan Afrika Selatan yang sangat bergantung pada batubara.

Pada laporan Climate Finance Report, menyampaikan bahwa anggota G7 menegaskan niat mereka untuk maju dalam negosiasi dengan Indonesia, India, Senegal, dan Vietnam. Pimpinan negara anggota G7 setuju untuk meninjau kemajuan JETP baru yang potensial ini pada COP 27. Tiga dari 4 negara tersebut merupakan negara berkembang dengan konsumsi energi batubara terbesar di dunia. Dalam laporan CZA tahun 2022, mengkritisi bagaimana proses JETP yang sedang berlangsung di Afrika Selatan tidak memiliki transparansi dan keterlibatan masyarakat sipil yang memadai, sehingga membatasi efektivitasnya. Lalu, untuk menjadikannya lebih efektif, CZA menambahkan agar donor harus memprioritaskan hibah dan pembiayaan konsesional dalam kesepakatan JETP untuk mendanai elemen paling penting dari transisi yang adil, seperti dukungan dan pelatihan ulang bagi pekerja. Indonesia yang akan menjadi salah satu negara penerima inisiatif JETP semestinya juga perlu disertai dengan kesiapan pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan panduan yang jelas dalam menjalankan pensiun dini PLTU.

Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Jerman memiliki kerjasama dalam misi memerangi perubahan iklim dengan nama Green Infrastructure Initiative (GII). GII merupakan bagian dari inisiatif iklim Indonesia-Jerman yang disepakati dalam rangka perundingan bilateral pemerintah Indonesia-Jerman pada 1 Oktober 2019 di Berlin. Salah satu implementasi proyeknya berupa pembangunan Urban Public Transport yang diperkirakan mencapai 4057 juta EURO atau setara dengan 61,8T Rupiah.

Asian Development Bank (ADB) pada siaran persnya menyatakan bahwa mekanisme Transisi Energi (ETM) yang dipelopori oleh ADB berpotensi tidak hanya menjadi alat yang ampuh dalam memerangi perubahan iklim, tetapi juga untuk pembenahan sektor energi di Asia dan Pasifik. ETM bertujuan untuk mempercepat penghentian atau penggunaan kembali pembangkit bahan bakar fosil sekaligus menciptakan ruang dan peluang investasi untuk teknologi energi terbarukan dan bersih. Menghentikan 50% armada batubara di tiga negara percontohan ETM—Indonesia, Filipina, dan Vietnam—dapat memangkas 200 juta ton CO2 per tahun, setara dengan menghilangkan 61 juta mobil dari jalan. Itu akan menjadikannya salah satu program pengurangan karbon terbesar di dunia. Pekerjaan ini akan memiliki konsekuensi yang luas, termasuk perubahan dalam hal pekerjaan, rantai pasokan, dan infrastruktur ketika negara-negara bertransisi dari sistem energi yang bergantung pada bahan bakar fosil ke sistem yang didasarkan pada energi bersih.

Pada aksi penyelamatan iklim, selain berusaha menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi, juga harus berorientasi pada pengembangan energi terbarukan. ADB dinilai belum menjadikan pengembangan sebagai fokus utama yang seharusnya bisa dijalankan dengan pensiun dini PLTU secara bersamaan. Hal tersebut tergambar pada Indicative timeline to operationalize ETM yang menggambarkan bahwa sampai Q4 tahun 2022 fokus ETM masih kepada teknis pendanaan ETM untuk teknis pensiun dini PLTU, yang juga dijabarkan dengan rinci bagaimana program ACT Investment Program.

Indonesia membutuhkan pendanaan besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Pada pertemuan G7 bulan Juni 2022 di Jerman, Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dana sekitar 25-30 miliar USD untuk beralih ke energi bersih selama delapan tahun ke depan (hingga tahun 2030). Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan internasional untuk bisa transisi energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sebelumnya, pada pertemuan G7 tahun 2021, dikatakan bahwa direncanakan dua macam pendanaan baru untuk CIF dalam menekan perubahan iklim di negara berkembang termasuk Indonesia. Dua pendanaan tersebut adalah Accelerating Coal Transition (ACT) dan Renewable Energy Integration (REI). Namun, pada dokumen Energy Transition Mechanism (ETM) Introduction yang dikeluarkan oleh ADB, dinyatakan bahwa saat ini masih berfokus pada aliran kerja utama ACT, sedangkan REI belum memiliki rencana aliran kerja utama. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan komitmen dari ADB dalam pengembangan REI, karena pengembangan energi terbarukan membutuhkan biaya yang sangat besar.

Pengembangan energi terbarukan perlu dimaksimalkan untuk mengurangi dampak negatif polusi dan perubahan iklim yang berakibat pada terjadinya bencana alam. Dilansir dari Bisnis.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa kerugian negara tahunan akibat bencana alam mencapai Rp 20 Triliun, dan didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, dan puting beliung. Sehingga konsekuensi dari transisi energi ini tidak hanya sebagai penurunan emisi gas rumah kaca saja, tapi akan ada banyak dampak baik yang menyertainya seperti meminimalisir terjadinya bencana dengan mitigasi perubahan iklim menggunakan Renewable Energy (RE).

Perkiraan kebutuhan pendanaan transisi energi di Indonesia sebesar 25-30 Miliar USD hingga tahun 2030 yang setara dengan kisaran nilai 8-8.5 Miliar USD per tahun. Tantangan terbesar Indonesia pada transisi energi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut dengan segera. Pendanaan yang akan diterima Indonesia pada Financing Plan (Indicative) per 2022 tercatat sebesar 800 juta USD, dengan rincian dana 150 juta USD dari ADB, 150 juta USD dari CIF, dan 500 juta USD lainnya berdasarkan dari sumber pendanaan lain. Apabila dibandingkan, tentunya dana yang tersedia dengan jumlah kebutuhan masih sangat jauh jumlahnya, mencakup 2% dari total kebutuhan dana yang ada.

Kebutuhan untuk menutup seluruh armada batubara di Indonesia pada tahun 2040, Indonesia akan membutuhkan 37 miliar USD, atau 1,2 juta USD per megawatt, menurut analisis tersebut, yang menggunakan data dari alat proyek data terbuka Transition Zero yang disebut Coal Asset Transition (CAT). Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan menutup 5,5 GW pembangkit listrik tenaga batu bara sebelum 2030, dengan perkiraan biaya 6 miliar USD atau setara dengan 94T Rupiah.

Hingga saat ini, belum ada pemberitahuan terkait nominal pendanaan dari JETP untuk Indonesia. Sebelumnya, JETP memberikan pendanaan kepada Afrika Selatan sebesar 8,5 miliar USD pada tahun lalu. Pendanaan dari JETP untuk Indonesia dapat merujuk pada perbandingan konsumsi batubara antara Indonesia dan Afrika Selatan. Berdasarkan informasi dari worldometers.info, konsumsi batubara tahunan Afrika Selatan mencapai 202,298,474,200 MMcf, sedangkan Indonesia sebesar 102,623,737,100 MMcf. Berdasarkan perbandingan tersebut, JETP direkomendasikan untuk memberikan pendanaan kepada Indonesia sebesar 4,3 miliar USD.

Climate Investment Fund (CIF) menjanjikan komitmen CIFs Funding Program mereka sebesar 2 Miliar USD untuk memulai program yang terdiri dari program Accelerating Coal Transitions (ACT) sebesar 1,5 miliar USD dan program Renewable Energy Investment sebesar 500 juta USD. Data tersebut menunjukkan bahwa fokus pendanaan porsinya masih lebih besar untuk kegiatan ACT dengan program pensiun dini PLTU. Padahal, pengembangan RE sendiri juga memiliki kebutuhan pendanaan yang tidak sedikit.

Biaya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada di Indonesia pada tahun 2040 diperkirakan mencapai 37 miliar USD. Ini tidak termasuk biaya untuk memperluas pembangkit terbarukan, meningkatkan jaringan transmisi atau memastikan transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat. Industri batubara merugikan negara senilai 10 miliar USD dalam 12 bulan terakhir akibat emisi karbon yang dihasilkannya. Di sisi lain, Lonjakan harga batubara di tengah krisis energi menyebabkan Indonesia sebagai negara eksportir batubara terbesar di dunia memperoleh keuntungan yang sangat besar. Keuntungan atas windfall tersebut seharusnya bisa menjadi modal dalam proses transisi energi menuju energi yang lebih bersih dan berkeadilan agar kerugian yang disebabkan oleh emisi karbon tidak semakin besar.

Mengingat kebutuhan biaya dalam pengembangan energi terbarukan, selain mengharapkan bantuan internasional, Indonesia sendiri sebenarnya juga mampu melakukan pengembangan RE secara mandiri. Pada Tahun 2022, seperti yang dilansir Investor ID, menyebutkan bahawa PT Tamaris Hidro menggelar penawaran umum obligasi Tamaris Hydro I dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp 750 miliar. Sesuai rencana, dana hasil obligasi akan digunakan untuk investasi pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian swasta memiliki peluang yang besar terhadap ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Air untuk mendukung program 35 gigawatt (GW) dan sebaran energi baru terbarukan (EBT) dengan target minimal 23% pada tahun 2025, serta mendukung program pemerintah dalam rencana penambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW yang tercantum dalam Perpres Nomor 04 Tahun 2016.

 

 

Demokrasi Energi untuk Transisi Energi Berkeadilan

Demokrasi Energi untuk Transisi Energi Berkeadilan

Demi memitigasi perubahan iklim, transisi energi menjadi salah salah satu isu prioritas yang dibahas pada Presidensi G20 Indonesia 2022. Indonesia harus dapat menggunakan momentum Presidensi G20 Indonesia 2022 untuk mempercepat transisi energi ke energi hijau. Hal ini penting karena Indonesia memiliki komitmen untuk mencapai target penurunan emisi pada 2030, yaitu penurunan emisi sebesar 29 persen usaha nasional dan 41 persen bantuan internasional.

Namun, transisi energi G20 berpotensi gagal membawa perubahan. Pada 2 September 2022 lalu, pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk transisi energi atau Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) hanya menghasilkan chair’s summary dan Bali Compact yang pelaksanaanya bersifat sukarela. Jika kedua kesepakatan tersebut disepakati dalam KTT G20, tidak akan ada tanggung jawab apa pun dari negara-negara G20 untuk menjalankannya.

Bauran energi batu bara di Indonesia juga tidak berhenti menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, jumlah bauran energi baru bara di Indonesia adalah 68,7 persen, naik dari 54,7 persen pada 2015. Sementara itu, jumlah bauran energi terbarukan masih berjumlah 12,8 persen pada 2022, turun dari 13 persen pada 2015.

Selain itu, kebijakan pengelolaan energi Indonesia yang sekarang masih tersentralisasi dengan sangat top-down sehingga sarat melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Karenanya, praktik pengelolaan energi di Indonesia masih tidak demokratis, seperti energi yang tidak terdistribusi secara merata dan pengelolaan energi yang justru merugikan masyarakat lokal secara sepihak. Contohnya, ketimpangan akses akan listrik dan rusaknya ekonomi masyarakat lokal di Kalimantan Timur.

Padahal, pemerintah mendorong konsep transisi energi yang berkeadilan dalam pelaksanaan transisi energi G20. Karena itu, transisi energi G20 perlu dipastikan berjalan secara berkeadilan dengan menggunakan konsep demokrasi energi.

Demokrasi energi adalah konsep gerakan sosial yang mengadvokasikan transisi energi terbarukan dengan menolak agenda energi yang didominasi bahan bakar fosil dan mengklaim kembali akses energi secara demokratis. Konsep demokrasi energi bertujuan menghargai otonomi masyarakat lokal atas sumber daya dan pengelolaan energi, pengambilan keputusan yang demokratis, menolak berbagai bentuk ketidakadilan lingkungan, dan mempromosikan transisi energi yang adil.

Pengelolaan energi yang tidak demokratis

Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menemukan banyak kesaksian dan keluhan masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur mengenai pengelolaan energi listrik yang tidak demokratis. Karena distribusi listrik tidak merata dan kepentingan masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan energi. Hal ini terungkap dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh AEER pada Juli 2022 lalu.

Pemadaman listrik merupakan hal yang biasa terjadi di Kabupaten Kutai Timur. Bahkan beberapa desa di Kecamatan Kaubun, Sandaran, dan Karangan belum teraliri listrik. Hal serupa terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Karena kelangkaan listrik ini, masyarakat setempat harus membeli genset diesel dan panel surya pribadi. Listrik hanya dapat dinikmati masyarakat yang mampu.

Ironisnya, daerah-daerah yang mengalami kesulitan akses listrik berada dalam lingkar tambang batu bara yang merupakan penghasil utama sumber energi listrik. Kalimantan Timur adalah daerah penghasil batu bara terbesar di level nasional dengan kontribusi sebanyak 40,10 persen total sumber batu bara yang ada di Indonesia.

Bagaimana bisa daerah penghasil terbesar batu bara yang merupakan sumber energi listrik mengalami kesulitan mengakses listrik? Jawabannya adalah karena sistem pengelolaan dan distribusi listrik yang tersentralisasi.

Penggunaan energi fosil batu bara dalam sistem sentralisasi listrik juga menyebabkan kepentingan masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam pengelolaan energi menyebabkan masalah kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung warga lokal. Pada tahun 2022 saja, terdapat beberapa wilayah yang mengalami banjir dan longsor karena penambangan batu bara seperti di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda.

Kerusakan lingkungan inilah menyebabkan kehadiran pembangkit energi listrik alih-alih menyejahterakan, justru mengganggu ekonomi masyarakat lokal. Sebagai contoh, di Kelurahan Bontang Lestari, sekitar 200 nelayan rumput laut terdampak dan banyak berganti pekerjaan karena lokasi budidaya rumput laut yang semakin menyempit dan hilang karena polusi yang disebabkan PLTU, yaitu menyebarnya debu batu bara dari jalur kapal untuk muatan batu bara dan pembuangan limbah air panas ke laut.

Energi hijau semata, apakah cukup?

Sistem sentralisasi energi dan energi fosil batu bara adalah persoalan yang bertentangan dengan prinsip energi demokrasi. Namun berfokus pada penggantian energi fosil menjadi energi hijau semata tidaklah cukup selama masih berjalan melalui sistem sentralisasi energi.

Masyarakat di Danau Poso, Sulawesi Tengah misalnya, tetap memiliki akses listrik yang minim meskipun di daerah tersebut terdapat PLTA yang dikelola oleh perusahaan swasta. Selain itu, kehadiran PLTA tersebut merusak lingkungan dan merugikan ekonomi masyarakat. Pengerukan dan pembendungan danau menyebabkan sumber pencaharian masyarakat, ekosistem alami ikan sidat terganggu.

Petani, nelayan, penggembala kerbau hingga masyarakat adat pun sampai menuntut kompensasi terkait masalah lingkungan dan ketidakadilan energi yang mereka alami. Karena mereka merasa tidak dilibatkan, dari sosialisasi hingga pengambilan keputusan terkait pembangunan PLTA yang merusak tersebut.

Demokrasi energi jadi solusi

Demokrasi energi mendorong sistem pengelolaan energi yang terdesentralisasi sehingga lebih berbasis kepada masyarakat dan penggunaan energi hijau yang tidak merusak lingkungan masyarakat lokal.

Contoh praktik demokrasi energi dapat dilihat dari pengelolaan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) berbasis masyarakat di Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat.

Dalam proses operasi PLTMH berenergi hijau berkapasitas maksimal 120 KW tersebut, masyarakat dilibatkan langsung dalam proses pembangunan, pengelolaan, hingga pola pendistribusian listrik di wilayah Desa Cinta Mekar. Kelebihan kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTMH akan dijual ke PLN dan hasilnya akan diberikan kembali kepada masyarakat berbentuk subsidi masyarakat, seperti biaya sekolah anak-anak desa, subsidi kesehatan, atau modal usaha masyarakat desa yang dikelola oleh masyarakat sendiri melalui koperasi.

Tak hanya itu, masyarakat tercatat sebagai pemilik 50 persen hasil PLTMH Cinta Mekar dan 50 persen lainnya dimiliki oleh swasta atau investor.

Pengelolaan PLTMH di Desa Cinta Mekar adalah contoh praktik pengelolaan energi yang terdesentralisasi dan menggunakan energi hijau. Masyarakat lokal dapat menikmati energi yang dihasilkan di daerahnya sendiri dan mengembangkan ekonominya karena lingkungannya tidak rusak oleh keputusan pihak luar yang sepihak.

Maka dari itu, konsep demokrasi energi penting untuk dimasukkan ke dalam diskusi transisi energi yang berkeadilan. Demokrasi energi selaras dengan salah satu isu strategis transisi energi pada Presidensi G20 Indonesia, yaitu akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan.

 

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2022/10/18/135706226/demokrasi-energi-untuk-transisi-energi-berkeadilan?page=all#page2

Penulis:

Kunny Izza Indah A (Koordinator Program Demokrasi Energi AEER)

Pius Ginting (Koordinator AEER)

 

Sektor Bisnis dan Keuangan Perlu Perhatikan Keanekaragaman Hayati

Sektor Bisnis dan Keuangan Perlu Perhatikan Keanekaragaman Hayati

Sekretaris Eksekutif Konvensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (CBD PBB), Elizabeth Mrema menyatakan, lebih dari 50 persen ekonomi global bergantung langsung pada alam dan ekosistem. Namun, kegiatan ekonomi tersebut berdampak pada hilangnya area hutan yang sangat luas. Karena itu, sektor bisnis harus bersiap untuk pengawasan yang lebih besar atas risiko terkait alam.

Pengawasan itu dilakukan sebagai konsekuensi atas kerusakan alam yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis dan keuangan. Mrema menegaskan, sektor bisnis perlu menerapkan kerangka kerja untuk menilai dan mengungkapkan risiko, ketergantungan, dan peluang terkait alam melalui kerja sama dengan Task Force on Nature-related Financial Disclosure (TNFD) (The Banker, 22 September 2022).

Kondisi keanekaragaman hayati global mencemaskan

Kondisi keanekaragaman hayati global saat ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan “Global Biodiversity Outlook 5” yang dikeluarkan CBD PBB, dunia telah gagal dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan tidak ada satu pun Aichi Biodiversity Target yang berhasil tercapai sepenuhnya. Aichi Biodiversity Target merupakan target-target penyelamatan keanekaragaman hayati yang sebelumnya ditetapkan oleh CBD PBB pada periode 2011-2020.

Laporan “Nature Loss and Sovereign Credit Ratings” dari Bennet Institute for Public Policy, Universitas Cambridge, tentang peringkat 26 negara dalam skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”, Indonesia bersama dengan Tiongkok diprediksi akan mengalami penurunan kemampuan membayar kredit akibat kehilangan spesies-spesies tumbuhan dan binatang. Sebanyak 12 dari dari 26 negara yang diteliti mengalami peningkatan risiko kebangkrutan lebih dari 10 persen. Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini meliputi penurunan 90 persen jasa ekosistem masing-masing pada perikanan laut, penyerbukan liar, dan pasokan kayu dari daerah tropis.

Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini akan mengurangi kinerja ekonomi sehingga negara-negara akan mengalami kesulitan membayar utang, terbebaninya anggaran pemerintah, dan terpaksa menaikkan pajak, memotong pengeluaran, atau meningkatkan inflasi. Indonesia, bersama Malaysia, Tiongkok, India, dan Bangladesh adalah lima negara yang paling rentan menuju kebangkrutan akibat skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”.

Keterkaitan sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati

Sejumlah negara di dunia yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tengah mempersiapkan Post-2020 Global Biodiversity Framework dalam Konferensi Para Pihak (COP15) yang akan diadakan di Montreal, Kanada pada Desember 2022 nanti.

Kerangka kerja itu akan menjadi batu loncatan menuju visi CBD PBB pada 2050, yaitu Living Harmony with Nature. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan untuk mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati global pasca-2020 adalah keterkaitan antara sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati.

Saat ini diperlukan adanya kebijakan “No Go” pada bank dan lembaga keuangan. Kebijakan ini dilakukan dengan cara melarang pembiayaan langsung atau tidak langsung terhadap seluruh kegiatan yang tidak memenuhi aspek keberlanjutan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif pada area yang diprioritaskan untuk keanekaragaman hayati. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi krisis perubahan iklim, dan mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.

Negara berkembang dan maju perlu meningkatkan pembiayaan pada sektor berkelanjutan. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Taksonomi Hijau 1.0 pada 2022 yang menjadi pedoman umum untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan dapat mendorong percepatan pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mewujudkan emisi nol bersih.

Salah satu kendala yang masih dijumpai adalah minimnya pembiayaan atau investasi yang memenuhi aspek keberlanjutan.

Pembenahan Taksonomi Hijau 1.0 juga perlu dilakukan dengan mengeluarkan sektor batu bara dari kategori kuning (tidak merusak signifikan) padahal dalam kenyataan di lapangan kegiatan penambangan batu bara menyebabkan gangguan tinggi terhadap keanekaragaman hayati. Data investasi bahan bakar fosil pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR) September 2021, sektor ketenagalistrikan menerima investasi baru sebesar 3,61 miliar dolar AS atau sekitar Rp 51,4 triliun.

Dari jumlah itu, sekitar 2,5 miliar dollar atau Rp 35,6 triliun adalah investasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Pada periode yang sama, energi terbarukan hanya menyumbang 1,1 miliar dolar atau sekitar Rp 15,6 triliun dari total investasi dan tidak pernah melebihi 2 miliar dolar atau Rp 28,4 triliun selama enam tahun terakhir. Selain itu, pendanaan untuk pertambangan pun masih sangat tinggi. Pertambangan ini berperan dalam penyediaan bahan baku energi fosil yang masif.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa Pendanaan Domestik (DDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,18 miliar dolar (sekitar Rp 18,3 triliun) dan berada di urutan kedua setelah sektor transportasi. Pendanaan dari luar (FDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,17 miliar  dolar (sekitar Rp 16,8 triliun) dan berada di posisi kedua setelah industri logam, barang logam, kecuali mesin, dan peralatan.

Indonesia perlu secepatnya menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan alam, serta mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Solusi berbasis alam penting diimplementasikan untuk menjawab persoalan ini.

Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), solusi berbasis alam adalah tindakan untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan alam atau ekosistem yang dimodifikasi, dan secara bersamaan menyediakan kesejahteraan bagi manusia dan keanekaragaman hayati. Saat ini penting untuk menerapkan solusi berbasis alam pada kegiatan bisnis yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati dan lingkungan.

Penerapan solusi itu  memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, demi mencapai target Post-2020 Global Biodiversity Framework nomor ke-15, yaitu “semua bisnis perlu menilai dan melaporkan ketergantungan dan dampaknya pada keanekaragaman hayati, mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif terhadap keanekaragaman hayati”. Indonesia perlu melakukan percepatan transisi ke energi terbarukan sehingga mendorong perbaikan lingkungan dan mencegah kebangkrutan dalam skenario “runtuhnya jasa ekosistem”.

Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/18/101000865/sektor-bisnis-dan-keuangan-perlu-perhatikan-keanekaragaman-hayati?page=all#page2

 

Penulis:

Ilham Setiawan Noer (Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim AEER)

Wulan Ramadani (Peneliti Keuangan dan Iklim AEER)

Lebih dari 260 kelompok Masyarakat Sipil meminta Otoritas Cina untuk Memastikan bahwa Bantuan Keuangan Covid-19 Tidak Ditargetkan untuk Proyek-proyek Berbahaya

Lebih dari 260 kelompok Masyarakat Sipil meminta Otoritas Cina untuk Memastikan bahwa Bantuan Keuangan Covid-19 Tidak Ditargetkan untuk Proyek-proyek Berbahaya

 

.Aksi buruh Weda Bay Nickel (PT.IWIP) pada 1 Mei 2020. Salah satu tuntutan buruh adalah terkait dengan penanganan Covid 19 , keharusan isolasi tanpa mendapatkan upah. Sumber foto: Forum Perjuangan Buruh Halmahera Tengah        

Pada tanggal 29 April 2020 lebih dari 260 kelompok masyarakat sipil di seluruh dunia menyerukan kepada pemerintah Cina untuk memastikan bahwa bantuan keuangan terkait COVID-19 untuk proyek-proyek Belt and Road yang sedang berjalan hanya mengalir ke investasi luar negeri berkualitas tinggi yang memenuhi kriteria ketat tertentu, dan menghindari bail out proyek yang sudah terperosok dalam risiko lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati, iklim, atau keuangan sebelum COVID-19 dimulai.

Pada bulan Februari 2020, Kementerian Perdagangan Cina dan China Development Bank (CDB) bersama-sama mengeluarkan pemberitahuan menciptakan mekanisme untuk mengarahkan keuangan ke proyek-proyek Belt and Road yang telah terkena dampak pandemi COVID-19. Pemberitahuan tersebut menginstruksikan departemen perdagangan lokal dan perusahaan milik negara untuk mengumpulkan informasi tentang proyek-proyek luar negeri yang terkena dampak wabah, dan meneruskan informasi ini ke CDB, yang akan mempertimbangkan memberikan bantuan keuangan. Yang terpenting, pemberitahuan tersebut menyatakan bahwa proyek-proyek yang “berkualitas tinggi”, “sesuai dengan hukum”, dan memiliki “risiko yang dapat dikendalikan” dapat memenuhi syarat untuk menerima bantuan keuangan terkait COVID-19.

Dalam pernyataan itu, kelompok-kelompok masyarakat sipil menyoroti 60 proyek yang disponsori oleh Cina di bidang pertambangan, pulp dan kertas, tenaga air, infrastruktur, bahan bakar fosil, dan sektor-sektor lain yang tidak memenuhi kriteria ini, dan menetapkan sepuluh prinsip khusus yang jika ada dapat membantu memastikan bahwa proyek “berkualitas tinggi”. Ini termasuk memastikan penilaian dampak lingkungan yang kredibel dan kuat, memperoleh persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari orang-orang yang terkena dampak, berkomitmen untuk tidak berdampak pada area keanekaragaman hayati utama, dan memastikan keselarasan dengan norma-norma internasional dan praktik terbaik dan kebijakan China’s green finance policies, diantara yang lain.

Ketika dunia terus menanggapi krisis COVID-19, ekonomi mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, dan proyek-proyek pembangunan utama terhenti. Ketika kita menemukan cara untuk mengelola krisis dan mulai mengatasi kerugian yang disebabkan oleh pandemi ini, para pelaku pembangunan Cina dan global perlu secara serius mempertimbangkan bagaimana investasi berkualitas rendah, investasi berisiko tinggi tidak hanya mendorong dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, iklim, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga dapat memfasilitasi penyebaran penyakit, sebagai konsekuensi dari perambahan pada ekosistem yang tidak terganggu.

Dalam dunia pasca COVID-19, para pelaku global perlu mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan tegas untuk menstabilkan dan merevitalisasi ekonomi global dengan cara yang aman secara ekologis, berorientasi pada manusia, dan berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap bantuan keuangan terkait COVID-19 dialokasikan untuk proyek dan investasi yang didukung penuh dan memberi manfaat bagi masyarakat lokal, selaras dengan standar internasional dan praktik terbaik, dan melestarikan ekosistem dunia kita yang semakin rapuh.

(Daftar  260 organisasi  dan 60 proyek yang seharusnya tidak didukung akan segera ditampilkan  )

Fokus Presiden Jokowi Periode Dua Pembangunan SDM Unggul Diuji di Jalur Suralaya-Salira-Terate Banten

Fokus Presiden Jokowi Periode Dua Pembangunan SDM Unggul Diuji di Jalur Suralaya-Salira-Terate Banten

Presiden Jokowi dalam sebuah pidatonya menyatakan prioritas periode kedua pemerintahannya adalah pembangunan SDM unggul. Presiden menyatakan kualitas SDM dimulai dari dalam kandungan, sehingga tidak boleh ada lagi lahir kerdil (stunting). Kesehatan ibu dan anak menjadi kunci terutama sampai umur 7-8 tahun yang merupakan umur emas.

Anak sekolah dasar di Desa Salira dengan latar belakang PLTU Batubara Suralaya.. PLTU Salira terletak lebih dekat disamping sekolah ini.

Pembangunan SDM unggul ini tidak akan terpenuhi bila warga tinggal di lingkungan penuh polusi. Salah satu daerah yang penuh polusi adalah Banten, khususnya sepanjang jalur Merak, Suralaya, Salira, Pulo Ampel, Bojonegara dan Kramat waktu.

Di jalur ini terdapat PLTU Batubara Suralaya dengan 5 cerobong aktif mengeluarkan polusi udara yang kasat mata. PLTU ini menyediakan listrik bagi kota Jakarta dan sekitarnya. Namun dampak polusi udara menggelayuti wilayah sekitar. PLTU Batubara lainnya yang telah beroperasi adalah PLTU Salira, PLTU Merak Energi. Sementara yang akan beroperasi adalah PLTU Jawa 7 (2×991 MW), yakni pada bulan Oktober 2019. Oleh media PLTU ini disebut sebagai kado pelantikan Presiden Joko Widodo untuk kedua kalinya.

Jejeran pembangkit listrik dan industri kimia di sisi jalan, kegiatan penambangan tanah dan batu di gunung sebelahnya membuat kualitas udara ambiens sangat buruk. Daun-daun pohon sepanjang jalan tertutup debu, hingga poster sisa kampanye wajah politisi pun tertutup debu.  

Sejumlah taman kanak-anak dan sekolah dasar terdapat di daerah yang penuh polusi udara ini. Dari SD Negeri Salira, tampak udara kotor yang keluar dari cerobong PLTU Suralaya jelas terlihat . Jalur Suralaya-Salira-Terate dilalui oleh orang tua beserta anaknya antar jemput ke sekolah menggunakan sepeda motor mengakibatkan terpapar polusi udara yang sangat menghawatirkan. Seorang tenaga kesehatan di daerah ini dalam perbincangan dengan staf Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) menyatakan dia membeli mobil karena mengantar anaknya ke sekolah sehingga terhindar dari polusi udara yang parah, bukan karena alasan prestise sosial.

Udara kotor ini mengandung partikel halus PM 2.5, SOx, NOx yang berbahaya bagi kesehatan paru, jantung khususnya anak-anak dan usia lanjut. Bahan polusi lainnya adalah merkuri yang menyebabkan gangguan terhadap  jaringan otak anak-anak yang masih berkembang sehingga menurunkan kemampuan belajar.

PLTU Suralaya mengeluarkan polusi terletak di Jalan raya Suralaya-Salira-Terate

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bayi yang dilahirkan dari ibu yang pada masa mengandung terpapar polusi udara lebih berpeluang lahir prematur dan berat badan rendah. Berat badan rendah bayi yang baru lahir merupakan faktor utama penyebab kekerdilan (stunting).

 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bayi yang dilahirkan dari ibu yang pada masa mengandung terpapar polusi udara lebih berpeluang lahir prematur dan berat badan rendah.

Polusi udara yang telah parah di Jalur Suralaya-Salira-Terate, lokasi PLTU besar pemasok listrik Jakarta dapat dimitigasi dengan penghentian operasi (phasing out) pembangkit listrik yang kontrol polusinya buruk, seperti Suralaya; penerapan kontrol polusi menggunakan standar internasional –dapat mengacu kepada standar kontrol polusi negara Cina yang lebih ketat untuk PLTU Jawa 7 (dimiliki mayoritas oleh Shenhua Gouhua); dan penghentian penambahan pembangkit PLTU Batubara di jalur tersebut (rencana ekspansi PLTU Suralaya, Salira, Terate).

Disamping itu, kegiatan penambangan dan lalu lintas truk pengangkut material perlu dibatasi sepanjang jalur ini agar desa-desa dan sekolah berada sepanjang jalur ini tidak terpapar oleh polusi udara.

Komitmen pembangunan SDM unggul pemerintahan Jokowi diuji dengan pengurangan polusi udara dari PLTU Batubara, pertambangan, industri dan lalu lintas di jalur Suralaya, Terate, Salira agar anak-anak di jaur ini tidak dikorbankan demi pemenuhan listrik dan produk lainnya untuk daerah Jakarta dan sekitarnya. 

 

Untuk Tingkatkan Keandalan Listrik Jawa-Bali, Tingkatkan Pasokan Energi Terbarukan

Untuk Tingkatkan Keandalan Listrik Jawa-Bali, Tingkatkan Pasokan Energi Terbarukan

Anak-anak sedang bermain dengan latar belakang PLTU Jawa 7 yang sedang konstruksi, dijadwalkan beroperasi Oktober 2019. PLTU disebut memperkuat kehandalan jaringan transmisi Jawa Bali, khususnya di bagian barat

Pemerintah dan PLN perlu meningkatkan keandalan sistem kelistrikan Jawa Bali dengan menambah ketersediaan energi terbarukan. Dalam kasus terjadinya kegagalan dalam jaringan listrik yang mengakibatkan  pemadaman listrik pada 4 Agustus 2019, PLTU terbukti tidak dapat merespon dengan cepat, perlu waktu 6-8 jam agar PLTU dapat beroperasi normal setelah terlepas dari sistem jaringan.

Disayangkan, respon PLN dan pemerintah atas terjadinya padam listrik ini adalah dengan memperkuat PLTU. Diantaranya mengedepankan PLTU Jawa 7  dengan kapasitas 2 x 991 MW yang dijadwalkan beroperasi pada Oktober 2019 sebagai jalan keluar mengantisipasi kejadian yang sama. Solusi ini tidak mempertimbangkan ketidakadilan yang terjadi bagi warga yang berada di sekitar PLTU, yang menerima dampak negatif seperti penurunan kesehatan akibat memburuknya kualitas udara dari PLTU serta nelayan kecil yang terganggu ruang tangkapnya akibat wilayah tangkap mereka di laut telah berubah menjadi lokasi pelabuhan khusus batu bara dan lokasi PLTU Jawa 7. Disamping itu, dominasi pembangkit batu bara membuat respon padam listrik menjadi lambat karena PLTU memerlukan waktu yang lama agar dapat kembali beroperasi normal.

Solusi jangka panjang lain yang ditawarkan adalah kembali melanjutkan pembangunan transmisi HVDC (High Voltage DC) Sumatera Jawa. Konsekuensi jaringan ini adalah menambah PLTU Mulut Tambang di daerah Sumatera Selatan. PLTU Mulut Tambang menciptakan daya lingkungan buruk bagi warga di lokasi pembangkit, karena mereka dampak lingkungan dari kegiatan penambangan (banjir, pengalihan sungai, debu tambang) dan sekaligus dampak dari PLTU (pencemaran udara, kebisingan). PLTU Mulut Tambang menyebabkan gangguan terhadap lahan pertanian dan kebun karet warga di Muara Enim.

Kebun karet warga di dekat PLTU Mulut Tambang Gunung Raja. Pohon berubah menjadi warna hitam, dan hasil karet menjadi berkurang
Tempat penampungan air hujan di salah satu rumah warga di Desa Gunung Raja, Muara Enim. Dasar penampungan berisi endapan yang berasal dari kegiatan PLTU Batubara dan tambang batubara yang berjarak kurang 1,1 km dari rumah ini.

Ketidakadilan ekologi bagi pemenuhan listrik Jawa Bali dengan mengorbankan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekiter PLTU Mulut Tambang harus dihindari, disamping itu, pembangunan HVDC Sumatera Jawa yang dominasi PLTU membuat kontribusi gas rumah kaca meningkat.

Ketidakadilan ekologi bagi pemenuhan listrik Jawa Bali dengan mengorbankan kualitas lingkungan hidup dan kesehatan warga di sekiter PLTU Mulut Tambang harus dihindari, disamping itu, pembangunan HVDC Sumatera Jawa yang dominasi PLTU membuat kontribusi gas rumah kaca meningkat.

Keandalan sistem Jawa Bali akan meningkat jika pasokan energi terbarukan di masing-masing daerah/provinsi dikembangkan. Integrasi sistem Jawa Bali membuat fluktuasi ketersediaan energi terbarukan bisa diatasi, misalnya pasokan listrik tenaga angin di pantai Selatan Jawa melambat bisa diatasi dengan optimalisasi PLTS darat maupun terapung yang dibangun di masing-masing provinsi. Dan masing-masing provinsi/daerah bisa memiliki kemandirian energi dan respon pembangkitan yang cepat mengantisipasi kegagalan transmisi antar provinsi.  Dengan ketersediaan teknologi penyimpan listrik skala besar, pembangunan listrik energi terbarukan menjadi kian mungkin skala besar dan rumah tangga.