Eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati, penebangan liar, konversi kawasan hutan menjadi areal lain, perburuan dan perdagangan liar adalah beberapa faktor yang menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati. Untuk mendorong usaha penyelamatan sumberdaya alam yang ada, dan adanya realitas meningkatnya keterancaman dan kepunahan sumberdaya hayati, maka ditetapkan adanya status kelangkaan suatu spesies. Indonesia merupakan negara dengan tingkat keterancaman dan kepunahan spesies tumbuhan tertinggi di dunia dan merupakan hot-spot kepunahan satwa. Ajang COP15 menjadi sangat penting karena para pemimpin dunia akan dihadapkan pada tugas yang sangat penting untuk menyetujui Global Biodiversity Framework (GBF) pasca-2020, yang dimaksudkan sebagai rencana strategis, menetapkan tujuan dan target global, dan merinci langkah-langkah yang harus dilakukan. diambil untuk orang untuk hidup selaras dengan alam. Apakah ini adalah kesempatan terakhir bagi dunia untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati secara kolektif?
Ikuti diskusi “Apakah Ini Kesempatan Terakhir Untuk Menyelamatkan Keanekaragaman Hayati?”, langsung dari COP15 Montreal dengan pembicara Dermawati Sihite (Dewan Penasihat AEER), moderator Bagja Hidayat (Managing Editor Media Tempo), dan pengantar dari Pius Ginting (Koordinator Perkumpulan AEER) pada:
Hari: Rabu, 14 Desember 2022
Waktu: 20.00-21.30 WIB
Link Zoom: bit.ly/COP-15AEER
Live Streaming Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=E-MuyNRCTQs
Kami mengundang rekan-rekan untuk hadir dan berpartisipasi dalam disuksi ini.
Narahubung: 087832892902 (Lani)
]]>Isu transisi energi telah menjadi salah satu perhatian utama Indonesia sejak berkomitmen pada pengurangan emisi sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris. Namun hingga saat ini, Indonesia masih menjadi salah satu eksportir batubara terbesar di dunia dan bahan bakar fosil masih mendominasi sumber energi Indonesia. Strategi yang diperlukan untuk perlahan-lahan beralih ke energi terbarukan terdiri dari dua metode: penghentian pembangkit listrik berbahan bakar batu bara secara bertahap dan investasi pada fasilitas energi terbarukan. Namun, hal tersebut menimbulkan masalah tersendiri. Bahkan di daerah yang dekat pembangkit listrik, banyak desa di Indonesia yang masih kekurangan akses listrik. Dari sisi ekonomi, penghentian pembangkit listrik batu bara menimbulkan kekhawatiran bagaimana tenaga kerja yang ada akan beradaptasi dengan perubahan tersebut, mengingat belum ada rencana konkrit untuk mengatasi masalah ini. Pembangkit listrik dan proyek energi terbarukan yang ada juga menimbulkan masalah seperti konstruksi dan produksi sering membawa kerusakan berbahaya bagi lingkungan dan dampak kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar.
Salah satu konsep yang sesuai dengan fokus kami dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan serta keadilan iklim, adalah konsep Demokrasi Energi. Guna menjelaskan konsep tersebut untuk mewujudkan energi berkeadilan di Indonesia kepada para pembuat kebijakan di masa depan, kami dari Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyusun dokumen Policy Brief untuk meyakinkan policymaker agar mengadopsi rekomendasi kebijakan yang ditawarkan.
Please wait while flipbook is loading. For more related info, FAQs and issues please refer to DearFlip WordPress Flipbook Plugin Help documentation.
Convention on Biological Diversity (CBD) menyatakan bahwa dari 20 target penyelamatan keanekaragaman hayati Aichi 2011-2020, tidak ada satu pun target yang berhasil tercapai sepenuhnya. Dekade Aichi telah berakhir dan masih diperlukan upaya maksimal untuk penyelamatan keanekaragaman hayati dekade ini.
Saat ini, Para Pihak CBD tengah mempersiapkan The Post-2020 Global Biodiversity Framework untuk disahkan pada Conference of the Parties 15 (COP15) pada bulan Desember di Kanada. Lalu bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati dekade ini?
Untuk mengulas situasi tersebut, kami hadirkan webinar berjudul “Menuju COP15: Urgensi Penyelamatan Keanekaragaman Hayati Dekade Ini”.
Webinar akan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal: Rabu/30 November 2022
Waktu: 16.00-17.30 WIB
Link Zoom: bit.ly/WebinarCOP15
Link Youtube: bit.ly/StreamingWebinarCOP15
Pembicara:
1. Dermawati Sihite (Dewan Penasihat AEER)
2. Dr. Dolly Priatna, M.Si (Dewan Penasihat HarimauKita)
Kami mengundang rekan-rekan untuk hadir dan berpartisipai pada kegiatan tersebut.
Narahubung: 082117973918
]]>Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim. Demi memitigasi perubahan iklim, transisi energi menjadi salah salah satu isu yang penting untuk dilaksanakan secara konkret dengan prinsip yang demokratis dan berkeadilan.
Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Bagaimana hasil dari COP 27 Mesir dan bagaimana transisi energi di Indonesia dapat berjalan dengan mengarusutamakan demokrasi energi (keadilan, kontrol publik, keberlanjutan sektor energi) berdasarkan kondisi lokal dan nasional Indonesia?
Permasalahan ini akan dibahas pada Webinar “Paska COP 27: Transisi Energi dan Keadilan Iklim di Indonesia” yang akan dilaksanakan pada :
Hari/Tanggal : Selasa, 29 November 2022
Waktu : 14.00-15.30 WIB
Link Zoom : https://bit.ly/paskacop27
Kami mengundang rekan-rekan untuk hadir dan berpartisipasi pada kegiatan tersebut.
Narahubung: 081246119765 / 085226334626.
Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai capaian ASEAN dalam penyelamatan krisis iklim masih kurang.
Peneliti keanekaragaman hayati dan iklim AEER, Ilham Setiawan Noer, pada Kamis (10/11/2022), mengatakan ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan menghambat target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati global.
Padahal ASEAN merupakan kawasan penting perlindungan keanekaragaman hayati global karena mencakup 20 persen spesies flora dan fauna global, 30 persen terumbu karang global, dan 35 persen hutan mangrove global.
Di samping itu, empat negara di Asia Tenggara termasuk di antara 25 hotspot keanekaragaman hayati global, dan tiga negara termasuk di antara 17 negara megabiodiversitas di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Semua negara anggota ASEAN juga terdaftar sebagai pihak yang meratifikasi Convention on Biological Diversity (CBD).
Berdasarkan laporan ASEAN Biodiversity Outlook 2 yang dikeluarkan oleh ASEAN Centre for Biodiversity (ACB), disebutkan bahwa terdapat tiga level pencapaian target, yaitu warna hijau yang berarti target dicapai oleh sebagian besar negara ASEAN, warna kuning berarti setengah negara ASEAN, dan warna merah berarti kurang dari setengah negara ASEAN. Hasilnya, dari 20 target Aichi, hanya satu target yang berwarna hijau, 12 target berwarna kuning, dan 7 target berwarna merah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya penyelamatan keanekaragaman hayati di regional ASEAN belum maksimal.
Laporan ASEAN Biodiversity dikeluarkan sebagai hasil pemantauan terhadap perkembangan pencapaian penyelamatan keanekaragaman hayati 2011-2020 (Aichi Biodiversity Target).
Selain itu, laporan “The 6th ASEAN Energy Outlook 2017-2040” yang diterbitkan oleh ASEAN Centre for Energy (ACE) menyatakan bahwa dalam skenario Business as Usual, total pasokan energi primer ASEAN akan terus tumbuh sebesar 40 persen pada 2017-2025 dan sebagian besar didominasi oleh bahan bakar fosil. Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer. Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Ilman menerangkan, dominasi bahan bakar fosil juga terjadi pada total konsumsi energi, dengan nilai mencapai dua pertiga dari total konsumsi energi primer.
Sebelumnya, negara-negara di dunia berkomitmen mencapai batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius yang dideklarasikan pada Perjanjian Paris tahun 2015.
Tujuan komitmen ini adalah mencegah perubahan iklim yang semakin parah yang dapat memperburuk kekeringan, kelaparan, dan konflik di seluruh dunia.
“Bagaimana kaitan antara target penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati dengan energi fosil? Tingginya ketergantungan negara-negara Asia Tenggara terhadap energi fosil akan memicu peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga akan menghambat pencapaian batas kenaikan suhu global sebesar 1,5 derajat Celcius. Kondisi ini akan memperparah perubahan iklim global,” ujar Ilham.
“Energi fosil khususnya batubara akan mengancam keanekaragaman hayati dalam bentuk degradasi dan deforestasi habitat, fragmentasi habitat, pencemaran udara dan air, dan peningkatan suhu bumi,” tambah dia, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/11/2022).
Ilham turut menyatakan bahwa energi fosil di Indonesia saat ini didominasi oleh batubara.
Berdasarkan kajian yang dilakukan AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan”, dikatakan bahwa dari 35 perusahaan tambang batubara, sebanyak 23 perusahaan tergolong kategori ancaman tinggi, 10 perusahaan tergolong kategori ancaman sedang, dan 2 perusahaan tergolong kategori ancaman rendah.
Saat ini, Asia Tenggara masih menjadi pasar yang menjanjikan untuk komoditas batubara, di saat negara maju sudah mulai meninggalkan batubara dan mengkampanyekan beralih ke energi terbarukan.
Permintaan impor batubara di Asia Tenggara diprediksi akan meningkat menjadi 250 juta ton pada 2035 dibanding tahun 2020 sebesar 150 juta ton.
Tiga negara yang menjadi konsumen terbesar di Asia Tenggara adalah Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Konsumsi batubara di ketiga wilayah ini telah meningkat 150 persen selama 20 tahun terakhir.
Lebih lanjut, Ilham menjelaskan, saat ini negara-negara ASEAN belum mampu mengimplementasikan target dengan baik untuk mencapai batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius.
Menurut dia, dari 10 negara ASEAN, sebanyak tiga negara tergolong kategori critically insufficient atau sangat tidak memadai dan sangat kritis, yaitu Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Terdapat satu negara yang tergolong kategori highly insufficient atau sangat tidak memadai, yaitu Indonesia.
Sementara itu, enam negara lainnya belum ada penilaian dari Climate Action Tracker, yaitu Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Ilham berpendapat, negara-negara ASEAN perlu menguatkan kembali komitmennya terkait penyelamatan iklim dan keanekaragaman hayati.
Dia menambahkan, laporan The Land Gap Report 2022 yang dikeluarkan oleh landgap.org menyatakan bahwa penanaman pohon, penghijauan, dan reboisasi saja tidak cukup untuk menurunkan emisi gas rumah kaca global.
Saat ini diperlukan kontribusi penurunan emisi dari berbagai sektor, salah satunya sektor energi berbasis bahan bakar fosil.
“Sebagai salah satu negara dengan produksi dan konsumsi energi fosil terbesar di dunia, Indonesia perlu menjadi pionir di Asia Tenggara dalam penghentian ketergantungan terhadap energi fosil dan harus segera beralih ke energi terbarukan,” jelas dia.
Ilham menyebut, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen serius untuk mencegah kenaikan suhu di atas 1,5 derajat Celcius dengan cara menurunkan penggunaan pembangkit listrik tenaga batubara di Indonesia menjadi 10 persen pada tahun 2030 dan dihentikan sepenuhnya pada tahun 2040.
]]>Jakarta, 11 November 2022
Dunia saat ini tengah berupaya untuk mengatasi persoalan perubahan iklim dengan melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan. Pemahaman, perencanaan dan penggunaan energi sangat penting untuk setiap upaya mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan, adil, dan tangguh. Diperlukan perluasan penyebaran sumber-sumber terbarukan dan terdistribusi. Sehingga, muncul konsep demokrasi energi yang juga mencerminkan tumbuhnya kesadaran politik akan tata kelola energi dan kebijakan iklim.
Demokrasi energi lahir dari upaya aktivis lingkungan menghargai otonomi lokal atas sumber daya dan operasi energi, pengambilan keputusan yang demokratis, menolak berbagai bentuk ketidakadilan lingkungan, dan mempromosikan transisi yang adil. Untuk bekerja menuju demokrasi energi—transisi energi sosioteknik yang diresapi dengan praktik dan cita-cita demokrasi—memerlukan para aktivis lingkungan untuk terlibat dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk baru partisipasi, hubungan kekuasaan, praktik keadilan, dan konfigurasi teknologi energi.
“Berbagai macam bencana ekologis akibat krisis iklim kian melanda di berbagai wilayah menjelang KTT G20 di Bali harus menjadi peringatan, apalagi para pemimpin G20 untuk menghentikan solusi palsu terkait krisis iklim. Para pemimpin negara G20 harus serius melakukan transisi energi dan berkeadilan.”
“Penggunaan energi fosil pembangunan yang ekstraktif sebagai penyebab krisis iklim harus segera dihentikan jika bencana akibat krisis iklim ini tidak semakin meluas. Dalam KTT G20 yang akan berlangsung di tanggal 15-16 November di Bali, jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya.”
“G20 dengan jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. Namun, isu lainnya yang saat ini berkembang adalah mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP). Pertanyaan berikutnya adalah apakah JETP ini akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati, atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.” Tambah Ary Jr dari Extinction Rebellion Indonesia
Bauran energi batu bara di Indonesia juga tidak berhenti menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, jumlah bauran energi batubara di Indonesia adalah 68,7%, naik dari 54,7% pada 2015. Sementara itu, jumlah bauran energi terbarukan masih berjumlah 12,8% pada 2022, turun dari 13% pada 2015.
Komitmen serius pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim diperlukan untuk menangani permasalahan tersebut. Penggunaan energi terbarukan tidak berkembang cukup pesat untuk mencapai target bauran energi dan memperlambat peningkatan penggunaan bahan bakar fosil. Transisi energi yang dilakukan saat ini masih belum demokratis memihak kepada masyarakat dan pekerja. Konsep demokrasi energi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ketidakadilan energi secara holistik dan berkelanjutan. Kritik terhadap pengadaan energi yang sentralistik disampaikan oleh Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Menurutnya, kebijakan energi saat ini sangat top down. “Kebijakan energi kita tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil”. Beliau juga menyoroti soal komitmen pendanaan pada transisi energi di Indonesia. “Indonesia perlu meninggalkan energi fosil dan perlu fokus dalam pelaksanaan komitmen pendanaan internasional. Selain itu, pelaksanaan pajak keuntungan lebih bagi perusahaan yang bergerak di bidang energi fosil juga perlu dijalankan.” Tambahnya.
Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga setuju akan hal tersebut. Tanggung jawab pembayaran pajak bagi penyumbang emisi terbesar juga menjadi salah satu solusi dalam mewujudkan keadilan iklim. “Transisi yang Adil dari energi fosil menuju energi bersih dan terbarukan perlu direncanakan dengan matang dan bertahap, seperti menegakkan keadilan iklim, baik antar negara maupun antar generasi saat ini dan generasi mendatang. Selain itu, perlu melibatkan pekerja dan penduduk lokal yg akan terdampak atas kebijakan transisi; meliputi; Kompensasi dan kebutuhan skill (upskilling dan reskilling) untuk mengisi pekerjaan-pekerjaan yang baru dari transisi energi.”
Isu lingkungan ini tidak lepas dari isu sosial dan ekonomi. Bahkan dari sisi ekonominya, biasanya hanya sisi pemerintah dan swasta yang diperhatikan, sementara sisi masyarakatnya diabaikan. Perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi sistem energi saat ini menganggap bahwa energi sebagai komoditas berharga untuk menghasilkan keuntungan. Michael dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) menegaskan, “Salah satu bentuk implementasi dari demokrasi energi adalah menghentikan proses liberalisasi sektor ketenagalistrikan, sebab menyerahkan pengelolaan sektor energi ke pihak swasta (privatisasi) dapat menyebabkan kerugian bagi negara dan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah melalui kementerian BUMN sedang berupaya membentuk Holding dan Subholding di PLN yg mengarah pada proses liberalisasi (swastanisasi) sektor ketenagalistrikan.”
Jika transisi energi tidak dilakukan secara bijaksana, maka isu transisi energi hanya akan menjadi solusi palsu yang menyebabkan permasalahan baru yang lebih besar. Oleh karenanya, konsep demokrasi energi perlu dimasukkan ke dalam diskusi transisi energi berkeadilan. Terdapat lima prinsip dasar demokrasi energi yang holistik serta berkeadilan untuk masyarakat dan lingkungan, yakni akses universal dan keadilan sosial, energi lokal, terbarukan dan berkelanjutan, kepemilikan publik dan sosial, pembayaran upah yang adil dan penciptaan pekerjaan yang hijau, kontrol yang partisipatif oleh masyarakat.
Demokrasi energi penting untuk dibicarakan di Indonesia karena transisi energi bukan hanya berfokus pada substitusi energi fosil ke energi terbarukan, tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan secara lebih berkeadilan.
Narahubung:
Ary Jr (XR Indonesia) +62 877-2863-7717 – Kunny Izza (AEER) +62 852-2633-4626
]]>
Diskusi Publik Day-1 : G20 dan Transisi Energi
Tgl 11 November 2022 Pkl: 13:30 – 15:30
Pembicara: M.F Rosiy, Markus Sidauruk, Pius Ginting
Nonton dan Diskusi Film Day-1 : Mencari Demokrasi Energi
Tgl 11 November 2022 Pkl 15:30 – 17:00
Nonton dan Diskusi Film Day -2: Hampir Punah Terkepung Batubara
Tanggal 12 November 2022 Pkl 10:00 -12:00
Diskusi Publik Day-2 : Urgensi Transisi Berkeadilan
Tgl 12 November 2022 Pkl 13:00 – 15:00
Pembicara : Aceng Gimbal, Ilhamsyah, Fitriyani, Kunny Izza
Art Performance by XR Indonesia
Tgl 12 November 2022 Pkl 15:00 – 17:00
Oleh : Masyarakat Pesisir Cilincing, Marjinal, Ipank Hore-Hore
Permasalahan krisis iklim global semakin lama semakin memburuk jika tidak ada upaya konkret dalam mengatasinya. Sejak Paris Agreement ditandatangani pada tahun 2015, sebanyak hampir 200 negara berkomitmen untuk mengatasi krisis iklim dan mengejar upaya untuk memperkuat mitigasi iklim, adaptasi, dan pendanaan iklim. Paris Agreement mendorong negara yang meratifikasi perjanjian tersebut untuk dapat mencapai puncak global emisi gas rumah kaca sesegera mungkin dan mengakui bahwa puncak penurunan emisi akan memakan waktu lebih lama bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang telah berkomitmen dan memperbarui target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 23 September 2022 dengan meningkatkan target penurunan emisi atas usaha sendiri dari 29% menjadi 31,89% dalam NDC terbaru. Sementara itu, target penurunan emisi dengan bantuan internasional juga mengalami peningkatan dari 41% menjadi 43,20%.
Berdasarkan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, proyeksi total emisi gas rumah kaca di Indonesia dari sektor energi pada tahun 2030 skenario Business as Usual sebesar 433 juta ton CO2. Hasil dari penggunaan energi batubara menjadi penyumbang emisi sebanyak 298,9 juta ton CO2 dari total emisi 335 juta ton CO2 atau setara 89% di tahun 2030 dengan skenario low carbon. Maka, transisi dari energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) serta pengembangan transportasi publik berbasis energi terbarukan diperlukan sebagai upaya yang harus ditempuh Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
Salah satu upaya transisi energi dari energi fosil ke EBT adalah Energy Transition Mechanism (ETM). Program ini merupakan sebuah komitmen dari Asian Development Bank (ADB) terhadap aksi penyelamatan iklim di kawasan Asia Pasifik. Indonesia menjadi satu dari beberapa negara yang bekerjasama dalam aksi iklim menggunakan ETM berupa pensiun dini PLTU dan juga transisi energi yang lebih bersih. ETM partnership sendiri diluncurkan pada 03 November 2021 di Glasgow bersamaan dengan agenda Conference of the Parties (COP 26 Glasgow). Saat ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) merencanakan penghentian secara bertahap operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara untuk mencapai Net Zero Emission 2060.
Terdapat tiga opsi skema pendanaan pensiun dini PLTU yang dipaparkan dalam presentasi pengenalan ETM, yaitu
Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU seharusnya dilakukan pada PLTU baru yang beroperasi selama kurang dari dua tahun, bukan PLTU yang sudah lama beroperasi. Sewajarnya, diluar program ETM, pemberhentian operasi sudah harus dilakukan pada PLTU yang dinilai “cukup tua” karena kinerja kontrol pencemaran lingkungan yang sudah menurun, tidak mutakhir, dan sudah memiliki keuntungan nilai investasi. Disamping itu, AEER juga merekomendasikan proyek pensiun dini perlu diterapkan pada PLTU yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan PLTU yang bahan bakunya bersumber dari pertambangan batubara dengan tingkat risiko tinggi terhadap keanekaragaman hayati.
Berdasarkan kajian AEER, pertambangan batubara milik PT Berau Coal yang menjadi salah satu pemasok batubara untuk PLTU Suralaya adalah salah satu pertambangan yang termasuk kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati. PLTU Suralaya ini termasuk dalam datar 9 PLTU yang akan pensiun dini sebelum 2030. Hasil dari kajian AEER berjudul “Ancaman Tambang Batubara terhadap Keanekaragaman Hayati di Kalimantan” tersebut menunjukkan bahwa, sebanyak 23 lokasi pertambangan tergolong kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 10 pertambangan masuk dalam kategori ancaman sedang, dan 2 pertambangan tergolong kategori ancaman rendah terhadap keanekaragaman hayati dari 35 pertambangan batubara yang menjadi objek kajian di Kalimantan. Laporan ini dapat menjadi rujukan untuk menentukan PLTU mana yang sumber batubaranya berasal dari pertambangan batubara yang berada di area sensitif terhadap keanekaragaman hayati.
Pada tahun 2021, AEER juga telah melakukan studi mengenai dampak PLTU dan pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera. Pada laporan tersebut menyatakan bahwa dari 28 PLTU yang dikaji, sebanyak 12 PLTU masuk dalam kategori ancaman tinggi terhadap keanekaragaman hayati, 15 PLTU tergolong kategori ancaman sedang, dan 1 PLTU tergolong kategori ancaman rendah. Berdasarkan kajian tersebut, AEER merekomendasikan penerapan pensiun dini PLTU di Pulau Sumatera dilakukan pada PLTU Sumsel-8 karena memiliki ancaman paling tinggi dan baru akan memulai operasi di tahun 2022. Selain itu, PLTU yang paling berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati adalah PLTU Sulut 3 dan PLTU ini baru beroperasi tahun 2021 sehingga lebih tepat direkomendasikan untuk diterapkan pensiun dini.
Hingga tahun 2022, mekanisme transisi energi di Indonesia masih berfokus pada pensiun dini PLTU, dibandingkan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Pengembangan EBT masih belum memiliki skema pendanaan dan program yang jelas, dan baru akan mulai direncanakan pengembangannya berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2022.
Analisis Peta Jalan Net Zero Emission (NZE) mengemukakan bahwa target net zero Indonesia dapat dicapai melalui penerapan sumber daya energi terbarukan, efisiensi energi, elektrifikasi, dan interkoneksi jaringan. Efisiensi energi dan elektrifikasi adalah prioritas utama. Indonesia akan menambah sejumlah besar peralatan, mobil, mesin dan infrastruktur dekade ini. Bauran energi baru dan terbarukan menjadi salah satu pijakan dalam proses transisi energi.
Indonesia memiliki target bauran energi baru dan terbarukan pembangkitan tenaga listrik pada akhir tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2050 sebesar 31%. Berdasarkan laporan kajian “Indonesia Energy Transition Outlook 2022” yang dikeluarkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), bauran energi terbarukan hingga akhir 2021 hanya mencapai 11,2%. IESR menyatakan bahwa perkembangan energi terbarukan masih seperlima dari kapasitas yang seharusnya ditambahkan setiap tahun untuk mencapai target 23% pada akhir tahun 2025.
Dalam Peta Jalan NZE menyatakan jalan menuju emisi nol membutuhkan modal yang lebih intensif, artinya proses transisi energi menuju energi terbarukan membutuhkan pendanaan yang sangat besar. Pada tahun 2030, investasi di skenario yang dijanjikan memberikan informasi bahwa sekitar USD 8 miliar lebih tinggi per tahun daripada skenario business as usual (BAU), dengan investasi di pembangkit dan jaringan energi terbarukan (USD 25 miliar) lebih banyak daripada investasi saat ini di seluruh sektor energi. Investasi dalam efisiensi energi naik menjadi USD 10 miliar per tahun pada tahun 2030, peningkatan lima kali lipat pada hari ini. Memobilisasi tingkat investasi ini akan membutuhkan reformasi kebijakan yang signifikan serta dukungan internasional.
Berdasarkan Siaran Pers Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) 1 September 2022, Rida Mulyana, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM menyatakan bahwa Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga 1 triliun Dollar Amerika Serikat hingga tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan dari pihak lain dalam pendanaan menuju percepatan transisi energi, yaitu pendanaan dari negara maju seperti negara G7 melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP), dukungan bilateral Indonesia-Jerman melalui skema Green Infrastructure Initiative (GII), lembaga keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB).
Pada laporan Carbon Zero Analytics (CZA) 2022 menyampaikan bahwa Afrika Selatan menjadi negara contoh (pilot project) pengembangan pendanaan transisi energi dimana beberapa negara maju berkomitmen untuk mendukung transisi yang adil menuju ekonomi rendah karbon di Afrika Selatan. Just Energy Transition Partnership (JETP) ini melihat Prancis, Jerman, Inggris, AS, dan UE (Kelompok Mitra Internasional, atau IPG) berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar USD 8,5 miliar selama tiga hingga lima tahun untuk mendukung rencana iklim nasional Afrika Selatan. Pembiayaan yang diberikan bisa berupa hibah, pinjaman lunak (dengan suku bunga lebih rendah daripada yang tersedia dari bank komersial), melalui pembiayaan swasta, jaminan atau dukungan teknis. Program JETP bertujuan untuk menghapus batubara secara bertahap dan mempercepat penyebaran energi terbarukan di sistem kelistrikan Afrika Selatan yang sangat bergantung pada batubara.
Pada laporan Climate Finance Report, menyampaikan bahwa anggota G7 menegaskan niat mereka untuk maju dalam negosiasi dengan Indonesia, India, Senegal, dan Vietnam. Pimpinan negara anggota G7 setuju untuk meninjau kemajuan JETP baru yang potensial ini pada COP 27. Tiga dari 4 negara tersebut merupakan negara berkembang dengan konsumsi energi batubara terbesar di dunia. Dalam laporan CZA tahun 2022, mengkritisi bagaimana proses JETP yang sedang berlangsung di Afrika Selatan tidak memiliki transparansi dan keterlibatan masyarakat sipil yang memadai, sehingga membatasi efektivitasnya. Lalu, untuk menjadikannya lebih efektif, CZA menambahkan agar donor harus memprioritaskan hibah dan pembiayaan konsesional dalam kesepakatan JETP untuk mendanai elemen paling penting dari transisi yang adil, seperti dukungan dan pelatihan ulang bagi pekerja. Indonesia yang akan menjadi salah satu negara penerima inisiatif JETP semestinya juga perlu disertai dengan kesiapan pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan panduan yang jelas dalam menjalankan pensiun dini PLTU.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Federal Jerman memiliki kerjasama dalam misi memerangi perubahan iklim dengan nama Green Infrastructure Initiative (GII). GII merupakan bagian dari inisiatif iklim Indonesia-Jerman yang disepakati dalam rangka perundingan bilateral pemerintah Indonesia-Jerman pada 1 Oktober 2019 di Berlin. Salah satu implementasi proyeknya berupa pembangunan Urban Public Transport yang diperkirakan mencapai 4057 juta EURO atau setara dengan 61,8T Rupiah.
Asian Development Bank (ADB) pada siaran persnya menyatakan bahwa mekanisme Transisi Energi (ETM) yang dipelopori oleh ADB berpotensi tidak hanya menjadi alat yang ampuh dalam memerangi perubahan iklim, tetapi juga untuk pembenahan sektor energi di Asia dan Pasifik. ETM bertujuan untuk mempercepat penghentian atau penggunaan kembali pembangkit bahan bakar fosil sekaligus menciptakan ruang dan peluang investasi untuk teknologi energi terbarukan dan bersih. Menghentikan 50% armada batubara di tiga negara percontohan ETM—Indonesia, Filipina, dan Vietnam—dapat memangkas 200 juta ton CO2 per tahun, setara dengan menghilangkan 61 juta mobil dari jalan. Itu akan menjadikannya salah satu program pengurangan karbon terbesar di dunia. Pekerjaan ini akan memiliki konsekuensi yang luas, termasuk perubahan dalam hal pekerjaan, rantai pasokan, dan infrastruktur ketika negara-negara bertransisi dari sistem energi yang bergantung pada bahan bakar fosil ke sistem yang didasarkan pada energi bersih.
Pada aksi penyelamatan iklim, selain berusaha menghentikan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi, juga harus berorientasi pada pengembangan energi terbarukan. ADB dinilai belum menjadikan pengembangan sebagai fokus utama yang seharusnya bisa dijalankan dengan pensiun dini PLTU secara bersamaan. Hal tersebut tergambar pada Indicative timeline to operationalize ETM yang menggambarkan bahwa sampai Q4 tahun 2022 fokus ETM masih kepada teknis pendanaan ETM untuk teknis pensiun dini PLTU, yang juga dijabarkan dengan rinci bagaimana program ACT Investment Program.
Indonesia membutuhkan pendanaan besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Pada pertemuan G7 bulan Juni 2022 di Jerman, Presiden Indonesia menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dana sekitar 25-30 miliar USD untuk beralih ke energi bersih selama delapan tahun ke depan (hingga tahun 2030). Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dukungan internasional untuk bisa transisi energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sebelumnya, pada pertemuan G7 tahun 2021, dikatakan bahwa direncanakan dua macam pendanaan baru untuk CIF dalam menekan perubahan iklim di negara berkembang termasuk Indonesia. Dua pendanaan tersebut adalah Accelerating Coal Transition (ACT) dan Renewable Energy Integration (REI). Namun, pada dokumen Energy Transition Mechanism (ETM) Introduction yang dikeluarkan oleh ADB, dinyatakan bahwa saat ini masih berfokus pada aliran kerja utama ACT, sedangkan REI belum memiliki rencana aliran kerja utama. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan komitmen dari ADB dalam pengembangan REI, karena pengembangan energi terbarukan membutuhkan biaya yang sangat besar.
Pengembangan energi terbarukan perlu dimaksimalkan untuk mengurangi dampak negatif polusi dan perubahan iklim yang berakibat pada terjadinya bencana alam. Dilansir dari Bisnis.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan bahwa kerugian negara tahunan akibat bencana alam mencapai Rp 20 Triliun, dan didominasi oleh bencana hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, longsor, dan puting beliung. Sehingga konsekuensi dari transisi energi ini tidak hanya sebagai penurunan emisi gas rumah kaca saja, tapi akan ada banyak dampak baik yang menyertainya seperti meminimalisir terjadinya bencana dengan mitigasi perubahan iklim menggunakan Renewable Energy (RE).
Perkiraan kebutuhan pendanaan transisi energi di Indonesia sebesar 25-30 Miliar USD hingga tahun 2030 yang setara dengan kisaran nilai 8-8.5 Miliar USD per tahun. Tantangan terbesar Indonesia pada transisi energi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pendanaan tersebut dengan segera. Pendanaan yang akan diterima Indonesia pada Financing Plan (Indicative) per 2022 tercatat sebesar 800 juta USD, dengan rincian dana 150 juta USD dari ADB, 150 juta USD dari CIF, dan 500 juta USD lainnya berdasarkan dari sumber pendanaan lain. Apabila dibandingkan, tentunya dana yang tersedia dengan jumlah kebutuhan masih sangat jauh jumlahnya, mencakup 2% dari total kebutuhan dana yang ada.
Kebutuhan untuk menutup seluruh armada batubara di Indonesia pada tahun 2040, Indonesia akan membutuhkan 37 miliar USD, atau 1,2 juta USD per megawatt, menurut analisis tersebut, yang menggunakan data dari alat proyek data terbuka Transition Zero yang disebut Coal Asset Transition (CAT). Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan menutup 5,5 GW pembangkit listrik tenaga batu bara sebelum 2030, dengan perkiraan biaya 6 miliar USD atau setara dengan 94T Rupiah.
Hingga saat ini, belum ada pemberitahuan terkait nominal pendanaan dari JETP untuk Indonesia. Sebelumnya, JETP memberikan pendanaan kepada Afrika Selatan sebesar 8,5 miliar USD pada tahun lalu. Pendanaan dari JETP untuk Indonesia dapat merujuk pada perbandingan konsumsi batubara antara Indonesia dan Afrika Selatan. Berdasarkan informasi dari worldometers.info, konsumsi batubara tahunan Afrika Selatan mencapai 202,298,474,200 MMcf, sedangkan Indonesia sebesar 102,623,737,100 MMcf. Berdasarkan perbandingan tersebut, JETP direkomendasikan untuk memberikan pendanaan kepada Indonesia sebesar 4,3 miliar USD.
Climate Investment Fund (CIF) menjanjikan komitmen CIFs Funding Program mereka sebesar 2 Miliar USD untuk memulai program yang terdiri dari program Accelerating Coal Transitions (ACT) sebesar 1,5 miliar USD dan program Renewable Energy Investment sebesar 500 juta USD. Data tersebut menunjukkan bahwa fokus pendanaan porsinya masih lebih besar untuk kegiatan ACT dengan program pensiun dini PLTU. Padahal, pengembangan RE sendiri juga memiliki kebutuhan pendanaan yang tidak sedikit.
Biaya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada di Indonesia pada tahun 2040 diperkirakan mencapai 37 miliar USD. Ini tidak termasuk biaya untuk memperluas pembangkit terbarukan, meningkatkan jaringan transmisi atau memastikan transisi yang adil bagi pekerja dan masyarakat. Industri batubara merugikan negara senilai 10 miliar USD dalam 12 bulan terakhir akibat emisi karbon yang dihasilkannya. Di sisi lain, Lonjakan harga batubara di tengah krisis energi menyebabkan Indonesia sebagai negara eksportir batubara terbesar di dunia memperoleh keuntungan yang sangat besar. Keuntungan atas windfall tersebut seharusnya bisa menjadi modal dalam proses transisi energi menuju energi yang lebih bersih dan berkeadilan agar kerugian yang disebabkan oleh emisi karbon tidak semakin besar.
Mengingat kebutuhan biaya dalam pengembangan energi terbarukan, selain mengharapkan bantuan internasional, Indonesia sendiri sebenarnya juga mampu melakukan pengembangan RE secara mandiri. Pada Tahun 2022, seperti yang dilansir Investor ID, menyebutkan bahawa PT Tamaris Hidro menggelar penawaran umum obligasi Tamaris Hydro I dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp 750 miliar. Sesuai rencana, dana hasil obligasi akan digunakan untuk investasi pengembangan energi terbarukan. Dengan demikian swasta memiliki peluang yang besar terhadap ekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Air untuk mendukung program 35 gigawatt (GW) dan sebaran energi baru terbarukan (EBT) dengan target minimal 23% pada tahun 2025, serta mendukung program pemerintah dalam rencana penambahan kapasitas listrik sebesar 35.000 MW yang tercantum dalam Perpres Nomor 04 Tahun 2016.
]]>
Namun, transisi energi G20 berpotensi gagal membawa perubahan. Pada 2 September 2022 lalu, pertemuan tingkat menteri negara-negara G20 untuk transisi energi atau Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) hanya menghasilkan chair’s summary dan Bali Compact yang pelaksanaanya bersifat sukarela. Jika kedua kesepakatan tersebut disepakati dalam KTT G20, tidak akan ada tanggung jawab apa pun dari negara-negara G20 untuk menjalankannya.
Bauran energi batu bara di Indonesia juga tidak berhenti menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, jumlah bauran energi baru bara di Indonesia adalah 68,7 persen, naik dari 54,7 persen pada 2015. Sementara itu, jumlah bauran energi terbarukan masih berjumlah 12,8 persen pada 2022, turun dari 13 persen pada 2015.
Selain itu, kebijakan pengelolaan energi Indonesia yang sekarang masih tersentralisasi dengan sangat top-down sehingga sarat melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Karenanya, praktik pengelolaan energi di Indonesia masih tidak demokratis, seperti energi yang tidak terdistribusi secara merata dan pengelolaan energi yang justru merugikan masyarakat lokal secara sepihak. Contohnya, ketimpangan akses akan listrik dan rusaknya ekonomi masyarakat lokal di Kalimantan Timur.
Padahal, pemerintah mendorong konsep transisi energi yang berkeadilan dalam pelaksanaan transisi energi G20. Karena itu, transisi energi G20 perlu dipastikan berjalan secara berkeadilan dengan menggunakan konsep demokrasi energi.
Demokrasi energi adalah konsep gerakan sosial yang mengadvokasikan transisi energi terbarukan dengan menolak agenda energi yang didominasi bahan bakar fosil dan mengklaim kembali akses energi secara demokratis. Konsep demokrasi energi bertujuan menghargai otonomi masyarakat lokal atas sumber daya dan pengelolaan energi, pengambilan keputusan yang demokratis, menolak berbagai bentuk ketidakadilan lingkungan, dan mempromosikan transisi energi yang adil.
Pengelolaan energi yang tidak demokratis
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menemukan banyak kesaksian dan keluhan masyarakat di Provinsi Kalimantan Timur mengenai pengelolaan energi listrik yang tidak demokratis. Karena distribusi listrik tidak merata dan kepentingan masyarakat tidak dilibatkan dalam pengelolaan energi. Hal ini terungkap dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh AEER pada Juli 2022 lalu.
Pemadaman listrik merupakan hal yang biasa terjadi di Kabupaten Kutai Timur. Bahkan beberapa desa di Kecamatan Kaubun, Sandaran, dan Karangan belum teraliri listrik. Hal serupa terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Karena kelangkaan listrik ini, masyarakat setempat harus membeli genset diesel dan panel surya pribadi. Listrik hanya dapat dinikmati masyarakat yang mampu.
Ironisnya, daerah-daerah yang mengalami kesulitan akses listrik berada dalam lingkar tambang batu bara yang merupakan penghasil utama sumber energi listrik. Kalimantan Timur adalah daerah penghasil batu bara terbesar di level nasional dengan kontribusi sebanyak 40,10 persen total sumber batu bara yang ada di Indonesia.
Bagaimana bisa daerah penghasil terbesar batu bara yang merupakan sumber energi listrik mengalami kesulitan mengakses listrik? Jawabannya adalah karena sistem pengelolaan dan distribusi listrik yang tersentralisasi.
Penggunaan energi fosil batu bara dalam sistem sentralisasi listrik juga menyebabkan kepentingan masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam pengelolaan energi menyebabkan masalah kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung warga lokal. Pada tahun 2022 saja, terdapat beberapa wilayah yang mengalami banjir dan longsor karena penambangan batu bara seperti di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda.
Kerusakan lingkungan inilah menyebabkan kehadiran pembangkit energi listrik alih-alih menyejahterakan, justru mengganggu ekonomi masyarakat lokal. Sebagai contoh, di Kelurahan Bontang Lestari, sekitar 200 nelayan rumput laut terdampak dan banyak berganti pekerjaan karena lokasi budidaya rumput laut yang semakin menyempit dan hilang karena polusi yang disebabkan PLTU, yaitu menyebarnya debu batu bara dari jalur kapal untuk muatan batu bara dan pembuangan limbah air panas ke laut.
Energi hijau semata, apakah cukup?
Sistem sentralisasi energi dan energi fosil batu bara adalah persoalan yang bertentangan dengan prinsip energi demokrasi. Namun berfokus pada penggantian energi fosil menjadi energi hijau semata tidaklah cukup selama masih berjalan melalui sistem sentralisasi energi.
Masyarakat di Danau Poso, Sulawesi Tengah misalnya, tetap memiliki akses listrik yang minim meskipun di daerah tersebut terdapat PLTA yang dikelola oleh perusahaan swasta. Selain itu, kehadiran PLTA tersebut merusak lingkungan dan merugikan ekonomi masyarakat. Pengerukan dan pembendungan danau menyebabkan sumber pencaharian masyarakat, ekosistem alami ikan sidat terganggu.
Petani, nelayan, penggembala kerbau hingga masyarakat adat pun sampai menuntut kompensasi terkait masalah lingkungan dan ketidakadilan energi yang mereka alami. Karena mereka merasa tidak dilibatkan, dari sosialisasi hingga pengambilan keputusan terkait pembangunan PLTA yang merusak tersebut.
Demokrasi energi jadi solusi
Demokrasi energi mendorong sistem pengelolaan energi yang terdesentralisasi sehingga lebih berbasis kepada masyarakat dan penggunaan energi hijau yang tidak merusak lingkungan masyarakat lokal.
Contoh praktik demokrasi energi dapat dilihat dari pengelolaan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) berbasis masyarakat di Desa Cinta Mekar, Subang, Jawa Barat.
Dalam proses operasi PLTMH berenergi hijau berkapasitas maksimal 120 KW tersebut, masyarakat dilibatkan langsung dalam proses pembangunan, pengelolaan, hingga pola pendistribusian listrik di wilayah Desa Cinta Mekar. Kelebihan kapasitas listrik yang dihasilkan oleh PLTMH akan dijual ke PLN dan hasilnya akan diberikan kembali kepada masyarakat berbentuk subsidi masyarakat, seperti biaya sekolah anak-anak desa, subsidi kesehatan, atau modal usaha masyarakat desa yang dikelola oleh masyarakat sendiri melalui koperasi.
Tak hanya itu, masyarakat tercatat sebagai pemilik 50 persen hasil PLTMH Cinta Mekar dan 50 persen lainnya dimiliki oleh swasta atau investor.
Pengelolaan PLTMH di Desa Cinta Mekar adalah contoh praktik pengelolaan energi yang terdesentralisasi dan menggunakan energi hijau. Masyarakat lokal dapat menikmati energi yang dihasilkan di daerahnya sendiri dan mengembangkan ekonominya karena lingkungannya tidak rusak oleh keputusan pihak luar yang sepihak.
Maka dari itu, konsep demokrasi energi penting untuk dimasukkan ke dalam diskusi transisi energi yang berkeadilan. Demokrasi energi selaras dengan salah satu isu strategis transisi energi pada Presidensi G20 Indonesia, yaitu akses energi yang terjangkau, berkelanjutan, dan dapat diandalkan.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kompas.com: https://money.kompas.com/read/2022/10/18/135706226/demokrasi-energi-untuk-transisi-energi-berkeadilan?page=all#page2
Penulis:
Kunny Izza Indah A (Koordinator Program Demokrasi Energi AEER)
Pius Ginting (Koordinator AEER)
]]>
Pengawasan itu dilakukan sebagai konsekuensi atas kerusakan alam yang diakibatkan oleh aktivitas bisnis dan keuangan. Mrema menegaskan, sektor bisnis perlu menerapkan kerangka kerja untuk menilai dan mengungkapkan risiko, ketergantungan, dan peluang terkait alam melalui kerja sama dengan Task Force on Nature-related Financial Disclosure (TNFD) (The Banker, 22 September 2022).
Kondisi keanekaragaman hayati global mencemaskan
Kondisi keanekaragaman hayati global saat ini sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan “Global Biodiversity Outlook 5” yang dikeluarkan CBD PBB, dunia telah gagal dalam upaya penyelamatan keanekaragaman hayati yang ditunjukkan dengan tidak ada satu pun Aichi Biodiversity Target yang berhasil tercapai sepenuhnya. Aichi Biodiversity Target merupakan target-target penyelamatan keanekaragaman hayati yang sebelumnya ditetapkan oleh CBD PBB pada periode 2011-2020.
Laporan “Nature Loss and Sovereign Credit Ratings” dari Bennet Institute for Public Policy, Universitas Cambridge, tentang peringkat 26 negara dalam skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”, Indonesia bersama dengan Tiongkok diprediksi akan mengalami penurunan kemampuan membayar kredit akibat kehilangan spesies-spesies tumbuhan dan binatang. Sebanyak 12 dari dari 26 negara yang diteliti mengalami peningkatan risiko kebangkrutan lebih dari 10 persen. Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini meliputi penurunan 90 persen jasa ekosistem masing-masing pada perikanan laut, penyerbukan liar, dan pasokan kayu dari daerah tropis.
Skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem” ini akan mengurangi kinerja ekonomi sehingga negara-negara akan mengalami kesulitan membayar utang, terbebaninya anggaran pemerintah, dan terpaksa menaikkan pajak, memotong pengeluaran, atau meningkatkan inflasi. Indonesia, bersama Malaysia, Tiongkok, India, dan Bangladesh adalah lima negara yang paling rentan menuju kebangkrutan akibat skenario “runtuhnya sebagian jasa ekosistem”.
Keterkaitan sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati
Sejumlah negara di dunia yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati tengah mempersiapkan Post-2020 Global Biodiversity Framework dalam Konferensi Para Pihak (COP15) yang akan diadakan di Montreal, Kanada pada Desember 2022 nanti.
Kerangka kerja itu akan menjadi batu loncatan menuju visi CBD PBB pada 2050, yaitu Living Harmony with Nature. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan untuk mencapai target penyelamatan keanekaragaman hayati global pasca-2020 adalah keterkaitan antara sektor keuangan dengan keanekaragaman hayati.
Saat ini diperlukan adanya kebijakan “No Go” pada bank dan lembaga keuangan. Kebijakan ini dilakukan dengan cara melarang pembiayaan langsung atau tidak langsung terhadap seluruh kegiatan yang tidak memenuhi aspek keberlanjutan sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif pada area yang diprioritaskan untuk keanekaragaman hayati. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi krisis perubahan iklim, dan mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia.
Negara berkembang dan maju perlu meningkatkan pembiayaan pada sektor berkelanjutan. Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Taksonomi Hijau 1.0 pada 2022 yang menjadi pedoman umum untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan dapat mendorong percepatan pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dan sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mewujudkan emisi nol bersih.
Salah satu kendala yang masih dijumpai adalah minimnya pembiayaan atau investasi yang memenuhi aspek keberlanjutan.
Pembenahan Taksonomi Hijau 1.0 juga perlu dilakukan dengan mengeluarkan sektor batu bara dari kategori kuning (tidak merusak signifikan) padahal dalam kenyataan di lapangan kegiatan penambangan batu bara menyebabkan gangguan tinggi terhadap keanekaragaman hayati. Data investasi bahan bakar fosil pada Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR) September 2021, sektor ketenagalistrikan menerima investasi baru sebesar 3,61 miliar dolar AS atau sekitar Rp 51,4 triliun.
Dari jumlah itu, sekitar 2,5 miliar dollar atau Rp 35,6 triliun adalah investasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Pada periode yang sama, energi terbarukan hanya menyumbang 1,1 miliar dolar atau sekitar Rp 15,6 triliun dari total investasi dan tidak pernah melebihi 2 miliar dolar atau Rp 28,4 triliun selama enam tahun terakhir. Selain itu, pendanaan untuk pertambangan pun masih sangat tinggi. Pertambangan ini berperan dalam penyediaan bahan baku energi fosil yang masif.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa Pendanaan Domestik (DDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,18 miliar dolar (sekitar Rp 18,3 triliun) dan berada di urutan kedua setelah sektor transportasi. Pendanaan dari luar (FDI) pada Q1 2022 untuk sektor pertambangan mencapai 1,17 miliar dolar (sekitar Rp 16,8 triliun) dan berada di posisi kedua setelah industri logam, barang logam, kecuali mesin, dan peralatan.
Indonesia perlu secepatnya menurunkan ketergantungan terhadap energi fosil yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati dan alam, serta mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Solusi berbasis alam penting diimplementasikan untuk menjawab persoalan ini.
Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), solusi berbasis alam adalah tindakan untuk melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan alam atau ekosistem yang dimodifikasi, dan secara bersamaan menyediakan kesejahteraan bagi manusia dan keanekaragaman hayati. Saat ini penting untuk menerapkan solusi berbasis alam pada kegiatan bisnis yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati dan lingkungan.
Penerapan solusi itu memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, demi mencapai target Post-2020 Global Biodiversity Framework nomor ke-15, yaitu “semua bisnis perlu menilai dan melaporkan ketergantungan dan dampaknya pada keanekaragaman hayati, mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif terhadap keanekaragaman hayati”. Indonesia perlu melakukan percepatan transisi ke energi terbarukan sehingga mendorong perbaikan lingkungan dan mencegah kebangkrutan dalam skenario “runtuhnya jasa ekosistem”.
Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/10/18/101000865/sektor-bisnis-dan-keuangan-perlu-perhatikan-keanekaragaman-hayati?page=all#page2
Penulis:
Ilham Setiawan Noer (Koordinator Program Biodiversitas dan Iklim AEER)
Wulan Ramadani (Peneliti Keuangan dan Iklim AEER)
]]>