Oleh:
Ilham Setiawan Noer, Peneliti Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)
Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)

Sekitar 1000 negosiator dari 150 negara telah berkumpul dan melaksanakan pertemuan ke-4 untuk membahas The Post-2020 Global Biodiversity Framework di Nairobi, Kenya pada 21-26 Juni 2022. Pertemuan tersebut dilaksanakan untuk mempersiapkan teks final kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati global yang baru pasca 2020 pada COP 15 yang rencananya akan dilaksanakan di Montreal, Kanada pada akhir 2022 nanti.
Setelah pertemuan di Nairobi tersebut dikonklusikan, Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mempublikasikan draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru (belum difinalisasi) yang melaporkan bahwa saat ini keadaan keanekaragaman hayati adalah masalah yang serius. Sejumlah 70% daratan di bumi telah mengalami perubahan, lebih dari 60% lautan telah terdampak, dan lebih dari 80% lahan basah telah hilang. Satu juta spesies pun sedang menghadapi kepunahan. Terancamnya keanekaragaman hayati juga tercemin dari tidak terpenuhinya 14 dari 20 target Aichi Biodiversity Target, target-target yang ditetapkan CBD sebelumnya untuk penyelamatan keanekaragaman hayati oleh dunia global selama 2011-2020. Padahal hilangnya keanekaragaman hayati juga saling terhubung dan terkait erat dengan fenomena kerusakan alam yang lain, yaitu perubahan iklim, degradasi lahan, penggurunan, dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan perubahan iklim menjadi salah satu isu yang juga diperbincangkan dalam pertemuan global tersebut. Perubahan iklim perlu disikapi dengan menjaga ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil. Indonesia seharusnya berperan lebih dan menjadi teladan di kancah internasional dalam melakukan mitigasi perubahan iklim tersebut. Hal ini karena keanekaragaman di Indonesia sungguh kaya. Indonesia telah ditetapkan dunia sebagai negara mega-biodiversitas. Dan menurut konstitusi negara, UUD 1945 No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity, Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB.
Namun di sisi lain, Indonesia di waktu yang sama berstatus sebagai negara penghasil batubara terbesar ketiga di dunia. Indonesia masih sangat bergantung pada pertambangan batubara dan pembangkit energi listrik berbasis batubara yang mengancam keanekaragaman hayati dan memperparah perubahan iklim.
Draf rekomendasi The Post-2020 Global Biodiversity Framework yang baru memaparkan target-target kerangka kerja penyelamatan keanekaragaman hayati tingkat global yang baru. Indonesia harus segera meninggalkan penggunaan pertambangan batubara apabila ingin berperan dan menjadi teladan di kancah internasional dalam mencapai target-target penyelamatan kenakeragaman hayati tingkat global tersebut. Target-target yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Target 7: Mengurangi emisi dan polusi dari semua sumber ke tingkat yang tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati, fungsi ekosistem, dan kesehatan manusia dengan mempertimbangkan efek kumulatif.
Pertambangan batubara berkontribusi dalam melepaskan karbon dioksida dan metana. Gas metana tercatat lebih kuat 20 kali lipat dibandingkan CO2 perihal emisi gas rumah kaca. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan berpotensi menimbulkan polusi air, tanah, dan udara sehingga berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kesehatan manusia. Sebagai contoh, Laporan “Membunuh Sungai” (2020) oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan bahwa hasil uji sampel air di sekitar area pertambangan batubara PT Indominco Mandiri menunjukkan rata-rata tingkat keasaman air atau pH sangat asam, tingkat kandungan logam berat besi (Fe) dan Mangan (Mn) jauh di atas ambang baku mutu. Selain itu, masyarakat di sekitar area pertambangan juga mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), TBC, dan gejala kanker nesofaring.
Target 8: Meminimalkan dampak perubahan iklim dan pengasaman laut pada keanekaragaman hayati dan ekosistem melalui mitigasi, adaptasi dan meningkatkan ketahanan ekosistem.
Salah satu contoh ekosistem yang rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah terumbu karang. Misalnya, fenomena coral bleaching di Kalimantan Timur, yang diakibatkan oleh peningkatan suhu. Berdasarkan penelitian analisis geospasial terkait penggunaan lahan pada pertambangan batubara oleh El-Hamid dkk (2019), aktivitas pertambangan akan mengubah faktor iklim seperti temperatur dan curah hujan di sekitar area pertambangan. Peningkatan temperatur tersebut berakibat pada peningkatan evapotranspirasi di sekitar kawasan pertambangan secara signifikan. Hal ini merusak siklus hidrologi di sekitar kawasan pertambangan dan merusak daur materi di sekitar kawasan pertambangan. Penelitian terkait efek deforestisasi dan perubahan iklim terhadap Kalimantan oleh Wolff dkk (2021) memaparkan bahwa deforestasi dan pemanasan global di Kalimantan Timur menyebabkan suhu di kawasan tersebut naik hampir 1 derajat Celcius dalam 16 tahun terakhir. Hal ini berbahaya bagi keberlanjutan terumbu karang yang sangat sensitif dengan kenaikan suhu.
Target 14: Memastikan integrasi penuh keanekaragaman hayati dan berbagai nilainya ke dalam kebijakan, peraturan, perencanaan dan proses pembangunan, di dalam dan di semua tingkat pemerintahan dan di semua sektor, salah satunya pertambangan.
Pertambangan merupakan salah satu sektor industri yang dicantumkan dalam target 14 oleh CBD. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini menjadi perlu diwaspadai karena rentan berkontribusi negatif terhadap keanekaragaman hayati. Penelitian yang mendalami dampak pertambangan batubara terhadap keanekaragaman hayati di Amerika Serikat oleh Giam dkk (2018) menyatakan bahwa tambang batubara berkontribusi terhadap penurunan kekayaan dan kelimpahan biodiversitas. Penurunan kekayaan rata-rata sebesar 32% dan kelimpahan rata-rata sebesar 53% di area tambang batubara dibandingkan dengan area yang tidak ditambang. Kebijakan penerapan mitigation hierarchy pada level avoidance perlu diterapkan pada perusahaan pertambangan batubara sebagai bentuk langkah preventif. Level avoidance merupakan upaya menghindari dampak negatif sejak dini.
Target 18: Pada tahun 2025, hapuskan subsidi dan insentif yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati, dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi nasional.
Saat ini, Pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi dan insentif kepada sektor pertambangan batubara. Pemerintah Indonesia menerapkan insentif royalti 0% terhadap perusahaan yang menjalankan hilirisasi batubara. Hilirisasi yang direncanakan pemerintah salah satunya adalah pembuatan Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar substitusi bagi LPG. Padahal berdasarkan kajian tim Perkumpulan AEER, emisi yang dihasilkan proyek pembuatan DME ini 5 kali lebih besar dibandingkan produksi LPG dengan jumlah yang sama. Kebijakan untuk hilirisasi batubara yang menghasilkan DME melalui gasifikasi ini merupakan kebijakan yang tidak tepat karena menghasilkan emisi yang besar dengan perolehan energi yang lebih sedikit. Kondisi ini berpotensi menimbulkan bahaya bagi keanekaragaman hayati.
Maka dari itu, Indonesia harus menunjukkan komitmen yang lebih ambisius untuk mencapai target-target penyelamatan hayati The Post-2020 Global Biodiversity Framework. Indonesia harus berkomitmen untuk menghentikan upaya perluasan area pertambangan batubara dan mencabut izin pertambangan batubara untuk penyelamatan keanekaragaman hayati dari ancaman kerusakan energi kotor.
Artikel ini di muat oleh Kompas (https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/14/075101265/tinggalkan-batu-bara-demi-mencapai-target-penyelamatan-keanekaragaman?page=all)