Investasi PLTU Ultra Super Critical Cina & Jepang di Indonesia Hasilkan Emisi CO2 Setara 195 kali Emisi Republik Vanuatu

Investasi PLTU Ultra Super Critical Cina & Jepang di Indonesia Hasilkan Emisi CO2 Setara 195 kali Emisi Republik Vanuatu

17 JANUARI 2019
Seri  Kajian Energi  Perkumpulan AEER  
(Dwi mingguan, No #2, 17 Januari 2019)

Pihak China dan Jepang mendukung dan melakukan investasi batubara di Indonesia dan menegaskan mereka menerapkan  
clean coal technology, diantaranya dengan penggunaan boiler ultra super critical (USC).
PLTU Jawa 7 (tampak cerobong di belakang) menggunakan teknologi Ultra Super Critical dibangun di tengah kehidupan nelayan

Pemerintah lewat PLN dalam RUPTL 2018-2027 juga menyatakan clean coal technology untuk mengurangai emisi. Untuk sistem tenaga listrik Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara kelas 1.000 MW dengan teknologi ultra super critical sebagai bagian dari   clean coal technology untuk memperoleh efisiensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah. Untuk sistem Sumatera juga mulai direncanakan pengembangan PLTU memanfaatkan teknologi batubara bersih (clean coal technology) dengan kelas kapasitas 300-600 MW dengan teknologi Ultra Super Critical.

Diantaranya adalah Jawa 7 (2×919 MW) yang dimiliki secara joint venture oleh Shenhua Guohua dan PT.PJB Investasi.

Daftar Pembangkit Gunakan Teknologi Ultra Super Critical Asal Cina dan Jepang Yang Dibangun di Indonesia
Nama Pembangkit Kapasitas (MW) Pemilik
PLTU Tanjung Jati B Unit 5 1000 Sumitomo
PLTU Tanjung Jati B Unit 6 1000 Sumitomo
PLTU Jawa-7 Unit 1 991 National Energy Invesment Group (Shenhua Guohua) 70%, PT PJB 30%
PLTU Jawa-7 Unit 2 991 National Energy Invesment Group (Shenhua Guohua) 70%, PT PJB 30%
PLTU Jawa Tengah (Batang) Unit 1 950 Adaro, Itochu-J Power
PLTU Jawa Tengah (Batang) Unit 2 950 Adaro, Itochu-J Power

Dengan begitu, secara total terdapat kapasitas sebesar 5,882 MW perusahaan pembangkit listrik dengan investor asal Jepang dan China menggunakan teknologi ultra super critical di Indonesia. Dengan faktor intensitas karbon dioksida 740–800 g CO2/kWh bagi teknologi  USC, kapasitas  total pembangkit ini akan hasilkan 26-28 juta ton CO2 per tahun. Emisi CO2 ini setara dengan 148 hingga 195 kali lipat emisi gas CO2 Republik Vanuatu pada tahun 2016, negara kepulauan salah satu yang paling terancam oleh kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global di Samudra Pasific.

Laporan Data Inventory Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM 2016 menyatakan “berdasarkan data historis penurunan emisi GRK di sektor pembangkit listrik, penggunaan CCT tidak banyak berkontribusi dalam penurunan emisi, yaitu hanya sebesar 15% dari total penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, atau sebesar 4% dari keseluruhan penurunan emisi GRK sektor energi. Terdapat aksi mitigasi yang lebih banyak berkontribusi dalam penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, yaitu penggunaan cogeneration, dengan kontribusi sebesar 85% dari total penurunan emisi di sektor pembangkit listrik, atau sebesar 20% dari keseluruhan penurunan emisi GRK sektor energi.”

Disamping emisi gas rumah kaca, pembangunan listrik di daerah pantai selalu  mengakibatkan kerusakan dan gangguan lingkungan hidup nelayan. Seperti nelayan di pantai Terate, Kab. Serang, Banten, yang mengalami penyusutan ruang tangkap ikan akibat pantai tempat mereka menangkap ikan direklamasi untuk wilayah pembangunan PLTU Jawa 7.

Teknologi USC masih mengeluarkan gas rumah kaca cukup tinggi, membuat Indonesia kesulitan mencapai target pengurangan emisi rumah kaca dari sektor energi. Sebagai negara yang teknologinya telah maju, China dan Jepang seharusnya mengonkretkan kepemimpinannya dalam mengatasi perubahan iklim dan meujudkan keadilan iklim secara global dengan menghentikan pengembangan PLTU kendati dengan teknologi USC, dan melakukan pengembangan energi terbarukan di investasi luar negerinya, termasuk di Indonesia.

Investasi PLTU Ultra Super Critical Cina & Jepang di Indonesia Hasilkan Emisi CO2 Setara 195 kali Emisi Republik Vanuatu

Mendesak Peran China Mengurangi Dukungan Proyek Emisi Gas Rumah Kaca Tinggi di Indonesia

Seri  Kajian Energi  Perkumpulan AEER  

(Dwi mingguan, No #1, 2 Januari 2019)

 Banyak pihak, termasuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guiterres,  mengharapkan agar China mengambil tindakan kepemimpinan dalam negosiasi perubahan iklim sesudah pemerintahan AS dibawah Donald Trump mengambil tindakan yang skeptis tentang perubahan iklim. China tergabung bersama dengan negara G 77 telah mendesak negara maju untuk melakukan tanggung jawab lebih dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam pidato pembukaan COP 24 di Katowice, Polandia yang baru saja selesai, G77 dan China mendesak dilakukan transfer teknologi dari negara maju untuk negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

China adalah negara yang paling besar melakukan investasi energi terbarukan untuk dalam negeri, sebesar 102,9 milyar $AS pada tahun 2015, sementara itu Amerika Serikat jauh lebih kecil yakni sebanya 44,1  milyar $AS (Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis, IEEFA, 2017). Hal ini tentu diapresiasi.

Namun China diharapkan mengambil tindakan lebih dalam mengatasi perubahan iklim. Investasi asal China sampai saat ini tercatat sebagai salah satu yang terbesar dalam sektor energi batu bara. Diantaranya PLTU Jawa 7, PLTU Sumsel, Celukan Bawang dalam bentuk kepemilikan dengan jumlah kapasitas sebanyak 3.666MW, yang akan mengkonsumsi batu bara sebanyak 12,8 juta ton per tahun, yang akan menghasilkan gas karbon dioksida lebih dari 12 juta ton per tahun.

Keberadaan investasi asal China sudah dimulai pada Pemerintahan SBY lewat program Fast Track Program I(FTP I) sebesar dan FTP II sebesar    dan program 35.000 MW pada masa pemerintahan Jokowi saat ini.

Di China sendiri, PLTU Batu bara telah ditinggalkan. Tercatat di dalam negeri Cina sebanyak 150 PLTU Batu bara telah ditangguhkan untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengatasi polusi.

Pemerintahan China, dan juga negara lain seperti  Jepang berdalih masih mendukung batu bara di luar negeri karena negara mitranya masih mengembangkan PLTU batu bara. Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat kebijakan investasi luar negeri yang dibuat oleh China.

Garis Pedoman Kredit Hijau yang dikeluarkan oleh Komisi Regulasi Bank China pada tahun 2007 mengarahkan agar proyek luar negeri yang didukung oleh pendanaan dari China sejalan dengan praktek baik internasional. Beberapa lembaga keuangan internasional telah menghentikan pendanaan terhadap batu bara, perkembangan ini adalah standar praktek yang baik ditengah mendesaknya tindakan pengurangan emisi gas rumah kaca.

Pemerintah China perlu menunjukkan kepemimpinannya secara global dalam menahan laju perubahan iklim dengan mempertimbangkan kembali (menarik ataupun membatalkan) investasinya dari proyek energi fosil.

Tatkala tren global untuk meninggalkan batu bara, Indonesia justru kian konsumtif akan jenis energi ini. Berbagai penolakan datang dari warga dan organisasi lokal maupun internasional karena rentan terhadap ekologi dan relasi sosial, namun pembangunan PLTU tetap berlanjut di sejumlah daerah. Laju pembangunan PLTU lebih tinggi ketimbang energi lain, dan hingga 2017 batu bara mendominasi pasokan energi nasional, yaitu 57,22% (LAKIN DJK 2017). Sementara itu, energi terbarukan bergerak pelan dan menunjukkan tanda-tanda pekerjaan rumah nan berat untuk mencapai target 20% di tahun 2025.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia, Bambang Brodjonegoro, saat Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim 24 di Katowice, Polandia, mengatakan tiga aspek yang diupayakan pemerintah Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim adalah penggunaan energi terbarukan, peremajaan hutan dan transportasi yang lebih efisien. Dalam bidang energi, laporan yang disusun oleh Germanwatch, NewClimate Institute dan Climate Action, 2018, menunjukkan kinerja Indonesia tergolong rendah (dari empat kategori: tinggi, menengah, rendah, dan sangat rendah) untuk energi terbarukan. Laporan tersebut menyebutkan, kurangnya mekanisme yang efektif menjadi salah satu faktor penunjang perlambatan pengembangan energi terbarukan.

Paradigma pembangunan gaya lama yang menjunjung pertumbuhan ekonomi tapi mengesamping keberlanjutan ekologi sudah sewajarnya dirombak. Penolakan warga dan sejumlah organisasi lingkungan patutnya dicatat sebagai bahan pertimbangan oleh pelaku bisnis dan pengambil keputusan. Sekian lama rakyat Indonesia menjadi korban atas beroperasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil yang mengusik “ketenteraman” sosial dan ekologi mereka. Ketidakadilan dalam penyediaan energi ini yang mengorbankan warga sekitar pembangkit perlu dihentikan dengan beralih ke energi terbarukan.

Disusun oleh

Jasman Simanjuntak , Peneliti Energi Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat)