
Dampak Perubahan Iklim Kian Kuat, Lembaga Pengelola Investasi (LPI), Perlu Kecualikan Energi Fosil Dalam Investasi
Siaran Pers Perkumpulan AEER, TrendAsia
27 Januari 2021
Pemerintah sedang membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA), dengan modal awal Rp.75 trilyun rupiah yang diharapkan untuk menarik dana investasi dari luar negeri. Organisasi lingkungan mengharapkan LPI mempunyai kebijakan soal industri fosil. Enegi fosil merupakan penyebab perubahan iklim yang dampaknya kian terasa.
Para peneliti mengungkapkan di daerah tropis yang selama ini daerah basah karena hujan akan terjadi peningkatan hujan karena dampak dari perubahan iklim.[1]
Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) juga diprediksi akan terdampak oleh perubahan iklim.[2] Frekuensi dan kekuatan El Nino dan La Nina ekstrem berpotensi meningkat. Hari ini fase ekstrem ENSO terjadi sekali dalam 20 tahun. Namun di akhir abad 21, dalam skenario emisi gas rumah kaca yang agresif, fase ekstrem dapat terjadi sekali dalam 10 tahun. Indonesia, yang berada di ekuator bagian barat Samudra Pasifik akan mengalami curah hujan ekstrem saat La Nina ekstrem.
Pius Ginting, Kordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipari Rakyat) menyatakan, bencana hidrometeorologis dari banjir hingga kenaikan permukaan air laut kian meningkat seiring dengan pemanasan global yang diakibatkan oleh penggunaan energi fosil. Biaya besar dan hingga korban jiwa telah terjadi. Menyediakan lapangan pekerjaan dengan membuka pengembangan industri batubara dan perkebunan tidak efektif dan dampak kerusakannya lebih besar, seperti dalam kejadian banjir di Kalimantan Selatan, walau sudah banyak investasi tambang dan perkebunan, terdapat pengangguran 80.000 orang, setengah pengangguran 800.000 orang, dan bekerja paruh waktu 590.000 orang. Karenanya perlu kebijakan investasi dari LPI agar tidak mendukung bisnis yang menunjang pengembangan energi fosil, khususnya batubara.

PLTU sedang melaksanan konstruksi di Sumatera
Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, menyatakan, perlu diingat juga, bahwa INA berdiri di atas produk undang-undang kontroversial yang mendapatkan penolakan massif dan luas dari masyarakat, dan kekhawatiran dari investor global atas dasar potensi besar akan konflik kepentingan industri fosil, khususnya batubara, mulai dari proses perumusan hingga produk akhirnya[3]. Penolakan dari masyarakat juga didasarkan pada dampak-dampak negatif sosial lingkungan dan ekonomi dari industri fosil khususnya batubara, yang tidak kunjung terselesaikan dan jelas pertanggungjawabannya.
Kami mengharapkan INA membuat kebijakan tidak mendukung infrastruktur yang mendorong energi fosil, seperti rel kereta api yang mentransportasikan batubara, pelabuhan untuk batubara. Kajian dari Koalisi #BersihkanIndonesia[4] yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN)–yang akan dimodali oleh INA–menemukan bahwa mayoritas proyek PSN (proyek PSN dan program PSN) berpotensi berkaitan dengan energi fosil, padat polusi dan emisi serta lahan, dan berpotensi memarjinalkan masyarakat luas dan melanggar hak asasi manusia.
Dengan memasukkan infrastruktur pendukung energi fosil ke dalam usaha yang dikelola LPI, akan mempersempit jumlah investasi dari lembaga-lembaga telah punya kriteria tidak mendukung investasi energi fosil khususnya batubara.
Investasi LPI hendaknya dilakukan pada sektor sektor yang ramah lingkungan, termasuk pengembangan energi terbarukan karena sistem energi Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Di lain sisi, kepengurusan LPI pun harus menghindari konflik kepentingan industri fosil, khususnya batubara.
Kontak media
Pius Ginting,
Kordinator Perkumpulan AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat),
Ahmad Ashov Birry,
Direktur Program Trend Asia,
Hp: 08111757246
[1] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6472574/
[2] https://research.noaa.gov/article/ArtMID/587/ArticleID/2685/New-research-volume-explores-future-of-ENSO-under-influence-of-climate-change
[3] https://www.jatam.org/omnibus-law-kitab-hukum-oligarki/
[4] https://www.jatam.org/pilkada-2020-vaksin-imunitas-bagi-oligarki/