Rio Tinto Harus Bertanggung Jawab Untuk Pemulihan Dampak Tambang Grasberg

Siaran Pers Perkumpulan AEER

Jakarta (28 Mei 2018) Perusahaan tambang internasional Rio Tinto dikabarkan sedang dalam proses negosiasi dengan pemerintah Indonesia untuk keluar dari pertambangan emas, tembaga di Papua sebagai bagian dari rencana pemerintah Indonesia untuk menambah saham di dalam pengelolaan tambang bawah tanah di Papua.

Perkumpulan AEER mendesak Rio Tinto bertanggung jawab untuk pemulihan kerusakan lingkungan dan sosial yang telah terjadi.

Rio Tinto seharusnya merefleksikan proyek pemulihan lingkungan paska tambang di Holden, Amerika Serikat untuk diterapkan di Papua. Tambang di daerah terpencil di negara bagian Washington, Amerika dengan menguras biaya . Tambang tembaga berlangsung selama 19 tahun (1938-1957) meninggalkan tailing sebanyak 8,5 juta ton  di wilayah seluas 90 acres. Tambang bawah tanah ini  mencemari air tanah dengan lima jenis logam beracun yakni aluminum, cadmium, tembaga dan zinc, mengalir ke Danau Chelan. Pembersihan menghabiskan dana sebanyak 200 juta dollar AS.

Dampak penambangan di Grasberg, Papua harus dihitung sejak keterlibatan Rio Tinto sebagai joint venture PT. Freeport Indonesia sejak tahun 1998. Dengan perkiraan rata-rata harian tailing yang dilepas ke tempat penumpukan sebanyak 200.000 ton per hari, maka dalam periode 1998 hingga 2018 limbah tambang (tailing yang dibuang) adalah sebanyak 1,4 milyar ton. Jumlah ini sebanyak 172 kali dibanding yang tambang Holden.

Lepasnya tailing dari titik penaatan Kelapada Lima dan Pandan Lima  telah menciptakan pendangkalan di bagian pesisir, dan dalam beberapa kejadian,  memiliki total solid suspended diatas baku mutu kegiatan penambangan emas dan tembaga. Juga  beberepa kadar logam berat jauh diatas baku mutu air yang sehat untuk organisme terkait dengan kesehatan manusia, mengacu kepada aturan yang dikeluarkan oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US EPA).

Informasi lebih lanjut dapat menghungi

aeermail[at]gmail.com